Tulisan.
Ucapan.
Doa. Dan,
Kepala.
Belakangan aku senang menggunakan yang terakhir.
Sialnya, kepalaku tidak cukup bisa diandalkan untuk menjadi wadah penyimpanan perasaan. Aku pelupa kelas berat. Sementara perasaan perlu ditengok sesekali. Pelupa bukanlah bakat yang dicari disini. Ibarat kata melamar kerja, seleksi berkas saja kau sudah gagal. Aduh, buyuuung.
Belakangan, aku mencoba menghubungi Tuhan. Kutanyakan: "Bagaimana Kau bisa mempercayai seorang pelupa untuk melaksanakan proyek besar ini?"
Tak ada jawaban!
Ping.
Ping.
Ping.
Tetap tak ada jawaban.
Atau karena pertanyaan ini hanya kusimpan di kepala?
Toh, bukankah dia penerjemah segala bahasa? Termasuk bahasa yang tidak terbahasakan. Kan?