Entah kenapa saya ingin
menuliskan ini, Galang. Dan kenapa pula saya ingin membiarkan orang lain
membacanya. Mungkin terpengaruh oleh tulisan-tulisan teman saya yang nyaris
muncul setip saat di beranda akun facebook saya.
Tulisan ini diawali dengan payah.
Saya terlalu sering menggunakn kata ‘saya’. Tak apa. Saya cuman ingin menulis
kali ini.
Seorang teman menawarkan cuma-cuma
cara untuk bisa istiqomah dalam menulis: jadikan itu sebuah tradisi, katanya.
Kataku, itu seperti ibadah. Tapi ibadah jika hanya ditradisikan, maka ia akan
hilang makna. Mungkin seperti juga menulis, entahlah aku tidak ingin membuat
percakapan itu alot makanya urung kuminta konfirmasi dari temanku itu.
Saya bukan typical orang yang
bisa dengan mudah membiarkan orang lain menerka apa yang sedang saya lakukan
ataupun pikirkan dengan berulang kali meng-update status di media sosial. Itu pekerjaan
sulit bagi saya. Tentunya ini hanya malasah selera, bukan siapa benar siapa
salah. Tapi ketika mangkuk perasaan saya sudah tidak lagi mampu menampung
perasaan itu sendiri, barulah kadang saya menuangkannya ke wadah yang lain.
Dulu... saya mampu menjadi orang
lain untuk sekedar menuliskan apa saja. Mungkin, saking kosongnya.
Sekarang, saya hanyalah seorang
perindu. Yang tidak mampu lagi hidup di dunia imajinasi saya. Saya terisi penuh
dengan syair-syair rindu yang nyata.
***
Well, tulisan ini sama sekali
tidak punya ‘isi’. Mungkin, karena saya tidak sedang ingin menciptakan suatu
peradaban. Saya sedang tidak ingin diakui ‘ada’ oleh penduduk dunia. Tapi
betapa saya mengharapkan penantian penduduk-penduduk langit akan keberadaan
saya untuk bisa memecahkan celengan rindu saya ini.
Jangan salah sangka, saya tidak
berharap mati secepat mungkin. Saya hanya ingin dinanti. Dinanti berarti
dirindukan. Dirindukan harusnya berarti disayang. Kan?
0 komentar:
Posting Komentar