Aku tidak melihatmu semalam. Apa kau merayakan malam pergantian tahun?
Dimana?
Message send.
Aku merayakan malam setiap hari, Galang. Begitupun malam tadi.
Send.
Lalu, kau merayakannya dimana? Pelit sekali tidak mengajakku!
Send.
10 menit, tidak ada balasan.
Ah perempuan ini, selalu saja
menggantung pertanyaanku.
*****
Apa kau hanya merayakan satu malam saja setiap tahunnya, Galang? Aku
merayakan malam hampir tiap malam. Dimana? Tentu dimana saja aku sedang berada.
Bisa di rumahku, di rumah nenek, di jalan, dimanapun itu. Tidak dengan riuh, kembang api,
dan segala yang menyala-nyala. Kau tahu kan aku tidak suka menjadi manusia
kebanyakan? Aku merayakan malam dengan sunyi karena itu yang diminta oleh
langit malam. Kami berbincang dengan damai. Aku selalu mengiriminya surat-surat
yang kuterbangkan dengan balon-balon gas hasil ‘rampasan perangku’ dari adikku.
Karena ia , Si Langit Malam, tak punya handphone untuk kukirimi pesan-pesan singkat. Ia juga tak
bisa turun kesini.
Kami berbincang apa saja. Kutanyakan kabarnya, kesehatannya, dan
segala ke-kepo-an lainnya. SETIAP MALAM, tidak hanya malam tadi.
Dan dia membalasnya (do you believe that?). Tidak akan kukatakan
bagaimana cara langit malam membalas pertanyaan-pertanyaanku karena ini rahasia
kami berdua (sesekali aku butuh merahasiakan suatu hal darimu).
Tapi aku akan membocorkan suatu rahasia kepadamu. Pssttt… ini rahasianya
si langit malam. Aku sudah meminta izin kepadanya dan dia membolehkan. Karena,
katanya, kau adalah teman terbaikku.
Tahukah Galang, semalam, langlam (langit malam) curhat kepadaku.
Katanya, sekali dalam setahun negaranya diserang teroris. Ada bom dimana-mana. Duarrr duarrrr
duuuarrrrr ledakan itu seperti berasal dari bawah tanahnya. Negaranya tak lagi
sepi seperti yang ditakdirkan Tuhannya. Padahal, tugasnya adalah menyediakan
ketentraman dan rasa tenang dengan warnanya yang hitam dan nuansanya yang
sunyi. Tapi satu malam dalam setahun itu adalah mimpi buruk baginya. Ia tidak
bisa menjalankan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia mencoba minta bantuan
kepada Negara Hujan, tapi sepertinya teroris-teroris itu adalah pawang hujan
yang ulung. Hingga hujan pun tertahan di malam itu. Entah, padahal hari-hari
sebelumnya hujan begitu derasnya meluncur.
Bintang juga kehilangan romantismenya. Kerlap-kerlipnya tak langit
banyak dihitung orang-orang. Mereka terdengar menghitung yang lain. Hitungan
mundur, 10 hingga 1.
Dan bulan, entah dimana ia bersembunyi. Hilalnya pun tak nampak.
Harusnya orang-orang memperdebatkannya. Menegaskan bahwa ini belumlah menjadi
awal bulan baru.
Langit malam bersedih, Galang. Sayang ia tak punya akun facebook,
twitter, path, dan segala lainnya untuk bisa berkisah. Kitalah yang perlu
sedikit meluangkan waktu untuk memahaminya.
Dan tahukah Galang, kapan malam itu?
Binggo, kau benar! Semalam, saat kau dan kawan-kawanmu tengah melempar
sampah-sampah berwarna-warni itu ke negaranya. Sejak kapan kau-yang-anak-manis punya
niatan menjadi teroris?
Galang, jika kau punya waktu sebentaaaar saja, cobalah sapa langit
malam dalam sunyi. Malam apa saja, senin, selasa, rabu, kamis, dan seterusnya
tak jadi soal. Kau tak perlu mengkhususkan malam-malam tertentu untuk
menghidupkannya (apalagi jika kau hanya ikut-ikutan, Anak Manis ;)). Kau hanya
perlu menyapanya tanpa mengusik kewajiban dan kesenangannya. Dan sungguh, dia
benar-benar hidup.
Send?
Ini terlalu panjang untuk menjadi
sebuah pesan singkat. Akan kusalin ke kertas selembar, kulipat meyerupai
pesawat-pesawatan, dan kuterbangkan ke rumah Galang. Siapa suruh menjadi
tetanggaku. Kutebak, dia pasti tengah mengeluh karena pesannya yang belum
kubalas. Haha aku selalu punya defenisi kebahagiaan tersendiri jika membuatnya
menunggu.
Maaf slow respond. Keluarlah ke teras.
Send.
0 komentar:
Posting Komentar