Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Sabtu, 18 Januari 2014

Surat untuk N

Aku harus memulainya darimana, N?

Kau tahu... ini sudah surat kedua yang kutuliskan untukmu. Surat pertamaku dihilangkan adikku. Boocaaahh!!
Hhh.. samar ingatanku tetang surat yang pertama kutulis. Haruskah aku marah padanya? atau ada kata dari surat itu yang tak layak kau baca? maka Tuhan mengirimkan adikku untuk menggagalkan suratku?

Permisi sebentar... aku ingin mencium adikku dulu.


Okay, mari kita mulai.

Siang yang mendung, kau bertanya tentang makna survive kepadaku -jika ini tidak terdengar berlebihan-.
Aku? Survive? hahahahaha ups maaf. Tapi ini sungguh menggelitik, Kawan. Kurasa aku bukan orang yang tepat untuk mendefinisikannya, N.  Karena hal pertama yang kuingat tentang 'bertahan' adalah kaitannya dengan kesulitan hidup. Jika memang itu yang kamu maksudkan, malu rasanya. Tak pantas diriku.

Rasanya terlalu lancang jika kumasukkan kata survive di kamus pribadiku. Tak layak. 22 tahun yang diberikan Tuhan, kuisi dengan berbagai canda saja sepertinya. Tak banyak fase yang mengharuskanku menggunakan kata survive. Malu aku pada mereka yang lebih sulit hidupnya dariku, yang cobaannya lebih besar jika dibandingkan aku. Kau tentu sering membaca artikel-artikel tentang Palestina? Ethiopia? bahkan berita dari negara kita sendiri. Melihat mereka, tertampar rasanya pipiku jika aku keluhkan hidupku pada Tuhan. Apalah aku, atom terhalus di bumi yang masih sering lupa bersyukur. Tak seberapa ujianku, tak hentinya bibirku merutuk.
Tambah malu ketika membaca pengakuan mereka: "Ini bukanlah musibah, sungguh ini bukanlah musibah. Inilah kemenangan yang nyata!" Bulir-bulir bening ikhlas di mata mereka berbicara, N. Sungguh, jika mungkin aku ada di hadapan mereka, akan kusaksikan gambaran Firdaus 5 cm dari kepalanya. Itu kemenangan mereka.

Masihkah kau bersikeras menanyakan tentang definisi kata survive (atau dalam bahasa Indonesia kita mengartikannya 'bertahan') padaku, N? well, karena kau adalah saudaraku, maka akan kuluangkan waktu untukmu. Karena aku ingin mendapatkan salah satu dari derajat ukhuwah: mendahulukan kepentingan saudara diatas kepentingan pribadi.

Kemarilah... aku baru saja mendownload KBBI dari play store di handphone-ku. Ya, baru saja. Setelah sekian lama kamus bahasa negara lain terpajang manis di ponselku. Aku lupa negara kita adalah negara yang kaya, termasuk bahasanya. Setelah kuutak-atik, ternyata banyak kata yang tidak kutahu artinya. 
Eh, maaf aku jadi curhat. Ini karena kau memintaku menulis surat panjang (apa sejenis surat panjang tentang ribuan tahun cahaya? ahaha itu judul novel. Abaikan saja. Aku hanya berusaha memperpanjang tulisanku :D).

Kata apa tadi? ohya, bertahan.

ber-ta-han (v) 1. tetap pada tempatnya (kedudukannya dsb); tidak beranjak (mundur dsb): kita akan ~ di benteng ini sampai titik darah penghabisan; 2. Mempertahankan diri (thd serangan, godaan, dsb): mereka ~ thd serangan itu; 3. Tidak mau menyerah; berteguh hati; berkeras hati: ia tetap ~ pd pendiriannya; 4, Cukup untuk beberapa waktu (tt persedian dsb): kalau kita berhemat, air ini akan ~ juga satu satu minggu.

kau memilih definisi yang mana, N? Maksudku, aku tidak tahu definisi mana yang lebih tepat dengan keadaanmu sekarang?Aku minta maaf, jika belakangan kita jarang bertemu (Apa yang akan kita salahkan untuk ini? Ketidakmampuan kita untuk bertahankah? atau nasib yang akan kita marahi?), makanya aku tak begitu tahu keadaanmu sekarang. Maaf, jika gagal menjadi saudaramu. Tapi rabithah, masih aku ada di dalamnya?

Obrolan kita berlanjut walau terbatas pada layar komputer. Sedikit banyak aku menangkap maksud dari gundahmu, mudah-mudahan kali ini aku tidak sotoy (well... itu salah sata kata sifat yang disematkan Galang untukku). Sotoy kah aku? mari kita uji.

Dipertengahan kisahmu, kau menyelipkan kalimat BE YOUR SELF (hey, masukkah itu kalimat atau sebatas frase. Ya ampun... ini gara-gara aku sering melamun di mata kuliah morphologi. Maaf untuk ilmu yang selalu melupa). Itu kalimat yang pernah disarankan Galang padaku. Maka kuminta kau untuk melihat kalimat-kalimat Galang (yang entah darimana kalimat itu ia curi). Tapi katamu, kau sudah membaca tentang itu. Ah kau ini, secret admirer-nya Galang ya? Tak apa, aku tak marah (atau lebih tepatnya tidak cemburu ;)).
Maka kusarankan kau ingat-ingatlah lagi kalimat-kalimat Galang.

Yang paling membekas dari kalimat Galang (bagiku) adalah ketika kita mampu untuk mempersiapkan jawaban dari segala apa yang kita lakukan. Berbuatlah sesuka hati tapi persiapkanlah jawaban mengapa kau melakukan itu. Agar di kehidupan kelak kita tidak repot lagi karena semuanya punya penjelasan. Tentu, penjelasan yang benar bukan sekedar pembenaran. Dan juga, menjadilah sesukamu. Tapi jangan lupa untuk menemukan alasan yang tepat mengapa kau ingin menjadi seperti itu.

Suratku mulai kacau. Aku lupa dengan kata 'bertahan'. Apa hubungannya dengan 'be your self'?
Adakah kau ingin bertahan untuk tetap menjadi dirimu sendiri? Kalau begitu aku ambil definisi yang pertama pada KBBI: tetap pada tempatnya (kedudukannya dsb); tidak beranjak (mundur dsb). Sok tau ya? aduh maaf. Tapi bukankah begitulah orang menilai kita: menerka, menebak, dan sinonim lainnya. 
Maka, janganlah kau risau dengan ke-sotoy-an orang. Mereka sekedar penonton kisah hidupmu, sayang. Sesekali mungkin menjadi cameo. Kau tak perlu berubah mengikuti standar yang mereka tentukan, tak habis jika itu patokanmu. Beda kepala, beda maunya.
Saranku, peganglah lehermu. Rasakanlah denyut di sana, pertanda adanya Tuhan. Mudah saja bagi-Nya menghentikan denyut itu. Atau... peganglah ginjalmu (tidak benar-benar ginjal tentunya), apa kabar ia? maaf aku belum sempat menjengukmu (aku saudara yang payah!!). Maka pendapat siapakah yang paling pantas untuk kita dahulukan? bukankah ia yang telah memberi kita hidup? dia yang memberi kita kemudahan dan kesulitan?

Aku jadi teringat tentang kontradiktifnya sifat Abu Bakar dan Umar Al Khattab. Ah, kau tentu lebih mahfum dengan kisah tentang mereka. Aku sekedar menengembalikan ingatanmu saja (atau  kau tak pernah melupakannya dan selalu menjadikannya referensi untuk langkahmu? sekali lagi aku hanya bisa menerka, maaf jika salah.) Atau mungkin kau ingat tokoh the avenger? mereka punya sifat yang berbeda-beda tapi mereka punya satu jalur yang membuat mereka sama. Atau tengoklah pelangi, warna yang berbeda-beda tetap indah dipandang.

Maka apa yang kau risaukan dari dirimu, N? 
Kau hanya perlu memilih jalurmu (janur juga boleh :D). Lalu, menjelmalah sesukamu. Tak perlu kau ikuti orang-orang kebanyakan. Beda itu terpasung kuat di pikiran, tak mudah dilupa.

Bertahan: tetap pada tempatnya (kedudukannya dsb); tidak beranjak (mundur dsb).
Be your self, kukira tidaklah berarti kita harus menjadi itu-itu saja. Bertahan, kukira tidak sekedar memberi satu warna dalam diri kita. Berilah banyak warna pada dirimu. Tapi ada satu yang harus kau pertahankan, semacam garis peringatan. Agar kau tidak terlampau jauh bereksplorasi. Garis macam apa itu? kukira kau yang lebih tahu.


ahahah... ups maaf. Lagi-lagi aku lepas kendali. Aku menertawakan diriku lagi.

Kau tahu, manusia adalah jagonya berpesan, lihainya menasehati. Seperti peribahasa jaman SD: Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di ujuuuuuuuuuung lautan menjelma raksasa (makna peribahasanya tidak melencengkan walau dengan diksiku?)
Semua yang kukatakan padamu, belum semua bisa kulakukan. Marahkah Tuhan karena aku tidak (atau belum) mengerjakan apa yang kunasehatkan? Tapi disini ada saudaraku yang meminta, Tuhan? Haruskah kututupi apa yang benar hanya karena aku tak (belum) mampu melakukannya? Tak bisakah aku berkilah bahwa ini adalah doa? Perkataan yang dikatakan kepada orang lain sesungguhnya mencerminkan diri kita sendiri. 
Salahkah konsepku, N? maukah kau membantuku menemukan jawabnya? jika ya, maka aku akan sangat berterima kasih.

Aku hanya ingin kau paham bahwa tak ada  yang sempurna. Sempurna adalah kata sifat untuk Tuhan. Atom terhalus di bumi ingin menduduki ke-Maha-an Tuhan? oh my no!

Maka, N jika kelak aku butuh nasehat, nasehatilah aku. Jangan meragu, apalagi jika kau merasa belum pantas menasehatkan itu. Ah tentu itu adalah konsepku. Jika kau punya konsep yang berbeda, maka aku akan sangat menghormatinya. Aku tidak ingin menjadi penanggung jawab urusanmu dengan Tuhan di akhirat. Diriku saja pusing kupikirkan.

Maka sejatinya, nasehat adalah pilihan. Ambil atau modifikasi. Tentu, kau juga punya pilihan untuk tak acuh.

Cukup panjangkah suratku? kau membuatku menjadi manusia basa-basi. Entahlah, sepertinya banyak hal yang tidak penting yang aku tuliskan. Mudah-mudahan saja kali ini aku sotoy. Aamiin.

Adakah suratku memuaskan, N?
atau kau malah tambah bingung?
Setelah kubaca ulang, tulisanku nampaknya acak-acakan. Lompat sana-sini. Ide pokoknya tak tergapai sepertinya. Aku bukan penulis yang baik, N. Aku hanya suka menulis tanpa ada iming-iming menjadi seorang penulis. 

kutulis ini dengan keadaan ingus yang meleleh, N (eh maaf) dan air mata yang mengalir padahal aku sedang tidak (lagi) patah hati. Ya, aku terserang flu air (?). Jadi jika banyak kau jumpai typo pada kalimat-kalimatku, sesungguhnya itu bukanlah salah ketik tapi itu adalah kata baru *ngeles :D.

Bagaimana, N? Sudah cukup panjangkah tulisanku? 

Lalu bagamana caranya mengakhiri surat, N? Kata-kata apa yang akan digunakan sebagai penutup? alamak... aku kesulitan mengakhiri surat ini.

Baiklah...mmm.. sudah ya, N. bye. 

oh.. yayaya... aku ingat sebuah kalimat penutup surat: Tiada kesan tanpa balasanmu
Benar begitu tidak?


********

"Galang..... Galang.... main yuk." Aku berdiri di depan rumah Galang dengan menggeggam seamplop surat di tanganku.

Galang keluar dengan menggunakan sarung kotak-kotak dan peci putih. "Eh... Pak Aji. Galangnya ada, Pak? hahaha. Habis sunatan, Lang?" aku mengambil posisi duduk di kursi teras. Galang memilih kursi di depanku

"Habis dzuhur-an. Eh ada apa nih? kangen ya? baru juga ketemu tadi pagi."
"Ieeuu pede banget. Iya sih, kangen. Kangen ngerepotin. Tolong dong..." kusodorkan surat untuk sahabatku N pada Galang.
"Ya ampuuuunn... sesulit itukah menyatakan cinta sampai harus berkirim surat segala?? Gak kenal email ya?"
"Yang klasik begini kadang lebih berasa chemistry-nya. Bisakan membantu tanpa harus banyak bertanya?"
"Nggiiih.. gak usah pake urat. Tuliskan saja alamatnya. Aku ganti baju dulu. Nanti disangkanya aku mau ngantar undangan pernikahan kalau pake kostum begini, lengkap dengan peci pula. Tunggu ya."

Galang masuk ke dalam rumah sementara aku menuliskan alamat N pada amplop surat.
Tidak sampai 5 menit, Galang kembali muncul. Laki-laki, memang tak perlu banyak waktu untuk bersalin rupa. Kali ini dengan kaos oblong putih dipadu dengan jaket bertuliskan "Lakers" di dada sebelah kanannya. Sarungnya diganti dengan celana jeans berwarna biru basah. Dan, kaca mata hitam yang kini bertengger manis di wajahnya.

"Aku pergi ya. Eh ada pesan nggak?" Tanyanya padaku sambil mengeluarkan sepedanya dari garasi.

"Mmm.. jika dia bertanya kamu siapa, maka kau tahu harus menjawab apa." Jawabku sambil mengerlingkan sebelah mataku padanya. 

"Don't worry. Bye."

Galang dan sepedanya berlalu. 
Dia memang selalu bisa diandalkan.

0 komentar:

Posting Komentar