Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kamis, 16 Januari 2014

Pecinta Alam

Huuuuuuuuaaaaatttchiiiiiii...

"Wuuuiiihh... kira-kira dong kalau bersin. Baru juga datang, udah disembur. Gak kangen apa?" Suara itu...

"Galang?" ya itu benar dia. Setelah beberapa hari tak ada kabar, akhirnya dia muncul. Darimana saja? sama siapa? ngapain? ingin rasanya kuborong langsung pertanyaan-pertanyaan itu, tapi tidak. Tidak. Harus jaim, sok tidak peduli. Dingin. "Sorry... lagi flu. Lagian datang-datang gak permisi dulu. Kayak jalangkung aja, oh bukan... galangkung. hahaha." Suaraku yang terhijab oleh masker terdengar sedikit aneh ketika tertawa.

"Yeee... bukannya nanya 'darimana saja, Galang? ngapain? sama siapa?' ini malah di bully." Beneran gak kangen apa ini perempuan? 

Nah, itu dia tahu pertanyaan-pertanyaanku. Jawab aja gitu langsung, Gak perlu ditanya segala.

"Roman-romannya masak tom yam nih. Harrrrruuummnya sampai ke rumah tau. Eh... karena harumnya sudah menyebrang sampai ke rumahku, maka sekedar kuahnya pun sudah menjadi hak aku nih. Assiiiiikk.... mangkok mana mangkok?" Tanya Galang yang tentu saja tidak butuh jawaban. Dia tahu persis letak mangkok di rumah ini.

"Pintar banget nuntut hak, kewajibannya nihil." Ucapku sambil membuka masker yang menempel dimulutku. "Mana ada tamu masuk rumah orang gak ketok pintu? gak salam? tiga kali salam dan tidak dijawab kan harusnya cabut. Wek. Ini malah main masuk dapur orang. Lagian darimana aja sih?" Fiuuhh, keluar juga pertanyaan itu. Dengan susah payah kukendalikan nada suaraku agar terdengar biasa saja. Tidak panik, dan tidak benar-benar ingin tahu. Padahal...

"Sayakan bukan tamu di rumah ini. Wek." Kilah Galang sambil menjulurkan lidahnya. Meniru gayaku.

Bukan... bukan itu yang harus kau jelaskan, Galang. Tapi pertanyaan yang terakhir. Kamu darimana saja? Aiihh... masa iya harus kuulangi, susah tau.

"Ada kerjaan sama teman-teman mapala." O syukurlah, tak perlu kuulangi. Apa? Mapala?

"Hujan lagi horor-horor begini malah mendaki gunung? lewati lembah? sungai mengalir indah ke samudera.  Bersama teman bertualang. Sejak kapan kamu bercita-cita menjadi Ninja Hatori?" Sengaja kuselipi pertanyaanku dengan candaan, agar panikku tidak ditangkapnya. Yang kucandai malah sibuk mangap-mangap kepanasan kuah tom yam.

"Anak mapala itu kerjaannya bukan cuman naik turun gunung kaleee. Dasar sotoy." Terangnya sambil sesekali meneguk air putih dari gelas. "Karena hujan, ada beberapa daerah yang kena banjir. Ada yang sampai harus ngungsi. Jadi... ya kita bantu-bantu pemerintah sekitar. Relawan gitu. Namanya juga pencinta alam.  Harusnya mencintai dari hal yang terkecil, misalnya tidak membuang sampah sembarangan. Itu bagian  terkecil dari mencintai alam yang seringkali diabaikan bahkan oleh teman-teman pecinta alam sendiri. Tidak merokok, dan juga rajin mandi. Alam itu bukan hanya eksotisme pemandangan dari atas gunung. Sekedar mendaki gunung hanya akan membuatmu menjadi egois karena kau hanya akan menikmati kuasa Tuhan sendiri. Foto-foto tidak cukup meng-copy-paste apa yang kau rasakan ketika berada di atas sana. Lalu kemudian kau share di berbagai sosial media, cih. Bukannya membuat orang lain bisa merasakan euforianya menaklukkan gunung, malah hanya akan membuat mereka iri. Itukan yang kau rasakan?" Galang melirik ke arahku yang baru saja hendak memasukkan tom yam ke dalam mulutku. Tak jadilah kumakan. 

Benar, sumpah demi apa, saya sangat ingin mendaki gunung dan seringkali merasa iri dengan mereka (baca: perempuan) yang dipebolehkan (atau mungkin dengan sedikit memaksa) walinya. Aku tidak pernah mengantongi izin dari bapak walaupun nama Galang sudah kubawa-bawa. Sebenarnya orang tuaku , khususnya bapak, tidak begitu mengaitkan antara gender dan hobi. Buktinya beliau mengizinkanku ikut karate sewaktu SMP. Dan ketika kukatakan aku ingin les drum, Bapak senyum-senyum saja dan tidak melarang. Tapi entah mengapa, untuk urusan izin panjat-panjat gunung, tidak semudah meminta izin ikut lomba panjat pinang. Ah bapak...

"Kalau begitu seharusnya kau katakan pada teman-temanmu yang malas mandi itu. Sebenarnya mereka cakep-cakep cuman ditutupi sama rambut gondrongnya yang entah berapa hari belum di-shampoo, kulit mereka yang dekil, dan pakaian mereka yang entah mengapa selalu bau apek. Prinsipnya mungkin cuci-belum kering-bodo amat, pakai saja." 

"Beberapa teman mengambil dalih bahwa itu sudah menjadi tradisi. Bukan mapala kalau tidak begitu. Justru kalau itu dihilangkan, mereka disangka boy band bukannya pecinta alam. Sayang juga sih doktrin seperti itu. Padahal mencintai alam berarti mencintai keindahan dan keteraturan, ya gak perlu berlebihan juga. Dan itu seharusnya dimulai dari diri sendiri. Eh tapi beberapa temanku sudah mulai hijrah dari doktrin sesat itu kok. Tenang... tenang... saya akan menebarkan virus kegantengan dan keharuman ditengah-tengah kawan mapala. Hahaha." ungkapnya penuh bangga. 

"Kamu sendiri? ngapain selama aku sibuk menebar kegantengan? pasti mikirin aku ya?"

nah itu tau.

"Idih Ge-er. Gak sih, gak ngapa-ngapain. Cuman menjalankan rutinitas harian yang mulai terasa membosankan. Ditambah, keseringan makan karena dingin. Ya itung-itung musim hujan kelar, berat badan bisa bertambah."

"Bukannya cewek takut gemuk yah? oh iya aku lupa! kamukan bukan cewek. hahaha."  kamu memang bukan cewek, tapi perempuan aneh yang setiap inci gerakannya mampu meneduhkanku.

"Tidak semua cewek takut gemuk. Takut itu sama Tuhan, bukan sama gemuk." jawabku sinis karena gurauannya yang tidak lucu itu. "Eh hampir lupa. Kemarin Dika nyari kamu. Katanya hape kamu gak aktif, smsnya gak terkirim, di sosial media pun kamu tidak muncul. Hayooo kamu punya affair ya sama Dika? panik gitu dia."

Tanpa peduli dengan pertanyaan terakhirku, Galang merogoh saku celananya. Mencari-cari keberadaan ponsel kesayangannya.

"Dari kemarin handphone-ku sengaja dimatikan." terangnya sambil menekan tombol power cukup lama. Layar handphone itu menyala dan mengeluarkan bunyi khas 'selamat datang' sebentaran. Segera setelah standby, rentetan bunyi sms terdengar saling memburu. Pantas saja sms ku tidak dibalas. "Eh ada sms-mu juga ya?" tanyanya. ya ampuun.. harus berkilah apa kali ini? ayo berpikir, berpikir!! "Kamu dimana?" ucap Galang membaca pesanku yang muncul di layar handphone-nya. "Aku disini, disampingmu." Jawabnya seakan membalas sms yang kukirim. Dia melirik ke arahku. God! "Kamu mencariku? katanya tidak peduliiiiii?" selidiknya padaku.

"Mmmm... ya nggak lah. Itu karena Dika mencarimu. Jadi aku coba membantunya dengan meng-sms kamu. Mana tau hape kamu gak aktif. Lagian, pakai acara matiin hape segala. sok penting!" I'll say thanks to you, Dikaaaaa. Save by Dika mah ini ceritanya. Padahal sms itu kukirim sebelum Dika menanyakan keberadaan Galang. Hehehe

"Aku lagi program 'Hari Tanpa Gadget'. Makanya hape kumatikan."

"Program apaan itu?" tanyaku sambil dahi berkerut.

"Nantilah kujelaskan. Kuhabiskan dulu tom yam-ku. Eh bungkusin dong satu buat bawa pulang."

^%%$##%^%^$^@***

"Lo kira ini warteg?!"



0 komentar:

Posting Komentar