Aku masih ingat mimpi kecilmu. Mimpi yang sering kali
membuat ibuku dan mamamu marah-marah. Karena kita dengan sengaja membiarkan
dedaunan pada pohon-pohon besar diantara rumah kita berjatuhan. Mengotori halaman
rumahku dan rumahmu.
Kau ingin pergi ke negara dengan autumn yang indah sekedar
untuk menikmatinya. Karena di Indonesia, autumn (jika masih bisa dikatakan
autumn) berbeda. Hanya sekedar keadaan ketika angin kencang bertiup dan daun
pada pepohonan melepaskan pegangannya. Men-daadaa pada pohon. Warnanya tetap
suram, tidak seindah di negara lain yang warna daunnya lebih hidup, kuning, orange,
ataupun coklat.
"Entahlah Galang, tapi rasanya daun merasa bosan berada di
atas pohon." Katamu.
Ah kau sotoy, seperti biasa.
“Bagaimana kau tahu mereka merasa bosan? Mereka mengatakan
sesuatu kepadamu?”
Kau memainkan bola matamu, menariknya ke atas lalu
menghempaskan nafasmu.
“Apa kau gila? Mana mungkin daun bisa berbicara?” waw, tumben
kali ini kau waras. “Kita hanya disuruh membaca, Galang. Membaca
tanda-tandaNya. Pada pergantian malam dan siang, juga mungkin pada daun-Nya,
dan semua yang Dia ciptakan. Kita tidak perlu menunggu mereka berbicara dan
menyampaikan kabar-kabar.”
Aku salah. Kurasa kau tidak benar-benar waras.
Aku tidak mengerti
dengan jalan pikiranmu. Kau aneh, tapi aku menikmatinya.
"Jika daun berpisah dari pohon, dan berayun menuju
tanah, bukankah ia mati?" Aku mengambil satu daun yang habis bercumbu
dengan tanah. Memain-mainkannya ditanganku.
"Kau benar. Tapi terkadang, kita hanya mau tahu apa
yang kita inginkan. Walau nyawa adalah taruhannya. Tidakkah kau lihat bagaimana
ia berduyun menuju tanah? Ia menari, Galang. perlahan, melambai, bergerak
kesana kemari. Jika ia seorang wanita, pastilah ia sedang mengibas-ibaskan gaunnya
yang tidak lagi berwarna hijau. Tidak, Ia sama sekali tidak nampak sedih. Ia
bahagia, walaupun akhirnya harus mati. Tapi ia mati dalam kepuasaan, ia mati
setelah tahu apa yang benar-benar ia inginkan.”
Aku menatapmu lekat. Tapi kau tak membalas tatapanku. Matamu
jauh berkelana. Entah kemana, entah dimana.
“Tapi bukankah apa yang kita inginkan belum tentu menjadi
yang kita butuhkan?” Aku mencoba mengembalikan kesadaranmu. Sebelum kau makin
meracaukan hal yang aneh-aneh. Tapi sumpah demi apapun, aku menikmatinya.
“Kau benar, sangat benar. Dan ia sudah melaksanakan tugasnya
dengan baik. Ia menyedekahkan dirinya untuk kehidupan makhluk lain, memberi
nafas, menyejukkan. Seperti yang diperintahkan Tuhannya. Dan autumn, autumn
adalah bulan “me time” nya, bulannya, kemenangannya. Ah, entah dengan bagaimana
lagi harus ku gambarkan perasaannya, Galang.”
Aku diam. Tapi tidak dengan otakku, ia mencerna semua
perasaanmu. Ya aku tahu, yang kau ungkapkan itu adalah perasaanmu. Bukan
perasaan si daun. Alamak, mana mungkin daun punya perasaan. Dasar perempuan
aneh.
Tapi sekali lagi, aku menikmatinya.
Matamu berkelana lagi. Kali ini seluruh jiwamu dibawa serta
sepertinya.
aha! Aku tahu bagaimana cara mengembalikan jiwamu.
Kupanjati pohon yang berdiri tegar dibelakang kita. Lalu
kuinjak-injak ranting yang tepat berada di atas kepalamu. Daunnya berjatuhan.
Daun dari ranting lain juga ikut berjatuhan. Satunya mendarat mulus
dipangkuanmu dan menyentuh punggung telapak tanganmu.
Kau tersadar. Matamu tak lagi berkelana. Jiwamu kembali
datang. Kau menatap ke atas, ke arahku. Lalu senyuman itu, senyuman yang selalu
mencipta gemuruh hebat di dadaku. Aku balas tersenyum padamu, tipis saja.
“Kau tak perlu berterima kasih. Nikmatilah autumn-mu.”
Lalu sebelah mataku mengerlip.
Kaupun mulai bergerak, menarikan tarian anehmu.
Kaupun mulai bergerak, menarikan tarian anehmu.
Dan aku, aku selalu setia menikmatinya.
“Galaaaaaang…. Nyampah lagi yah?” Oh my god, my mom. Itu
ibuku.
Kuhentikan menginjaki ranting pohon. Tarianmu pun diam.
Sambil menutup mulut dengan kedua tanganmu, kau berbalik ke arahku, dan aku
berbalik kearahmu. Kita sama-sama melongo.
“Maap tanteeee. Iya nanti kita bersihkan kok. Tenang aja.”
Sahutmu kearah rumahku. Untung mamamu sedang tidak dirumah. Jika ia, maka kita
akan menikmati suara duet ibuku-mamamu hari ini.
Dan aku tahu ending dari cerita ini: sepanjang sore kita habiskan dengan membereskan
sampah-sampah dari autumn-mu itu.
Tapi sudahlah, toh aku selalu bisa menikmati apapun itu yang kau ciptakan.
0 komentar:
Posting Komentar