Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Sabtu, 04 Januari 2014

Yang Ber-Tuhan Yang Sukses

SANDIGO SALAHUDDIN UNO

"Ibadah itu kalau sudah rutin kita lakukan bukan lagi menjadi sebuah kewajiban tapi menjadi sebuah kebutuhan. Jadi kalau aku nggak shalat dhuha sekali aja, tiba-tiba ada sesuatu yang hilang, aneh rasanya. Walaupun itu sunnah jadi terasa wajib. Dan aku ngerasain sekali hikmahnya, sudah 7-8 tahun ini rutin aku lakukan, rezeki itu seperti nggak aku cari, semua rasanya datang sendiri kepada saya." 

PURDI E. CHANDRA

"Pagi-pagi sekitar jam enam, saya biasanya makan roti bakar. Jadi hampir tiap hari saya selalu sedia roti bakar. Kemudian olahraga sebentar. Agak siang, saya baru makan nasi. Habis itu mandi, shalat dhuha, dan kalau lagi pengen kantor, barulah setelah aktifitas itu, saya berangkat ke kantor."

"Siapa orang-orang ini, Galang? Mengapa mereka begitu penting sehingga kau menempelkan wajah-wajah mereka di agenda harianmu?"

Hey, siapa yang membolehkannya membuka agendaku? tapi biarlah.. semua isi agenda itu -bahkan yang belum tertulis- tidak akan lama bertahan sebagai rahasia padanya. 

Kutekan tombol pause pada stick yang kupegang. Kutarik perhatianku lepas dari game yang sedang kumainkan.


"Sandigo Salahuddin Uno dan Purdi E. Chandra." jawabku setelah melihat siapa orang yang dia maksud.. "Kaukan bisa membacanya di situ."

"Pertanyaanku adalah 'siapa mereka?' bukan nama mereka. Kau seharusnya cukup pintar untuk membedakan itu."

Bahkan kesalnya pun selalu bisa kunikmati. 

Kuperbaiki posisi dudukku. Kusandarkan punggungku pada sofa yang berada di belakang kami.

"Mereka pengusaha sukses. Sengaja kutempel gambarnya lengkap dengan ucapan-ucapan mereka sehingga aku bisa selalu membacanya. Menginspirasi..."

Aku mencuri pandang kepadanya. Sekedar untuk tahu bagaimana respon wajahnya. 
Tapi datar. Biasa saja. Aku tahu dia selalu mampu memanipulasi mimiknya sedemikian rupa. Tidak gampang kaget, tidak gampang kagum, tidak gampang sedih. Datarnya seperti sedang bertanya pada dirinya: kagum tidak ya? marah tidak ya? sedih tidak ya? 

"Apa yang kau dapat dari mereka?" 

 Tumben sekali dia memberiku pertanyaan tidak disertai tatapan tajam ke arahku. Tatapan yang selalu sukses membuatku kikuk dan akhirnya terbata.

Aku diam sebentar. Kali ini bukan hanya punggungku yang bersandar  di sofa tapi kepalaku juga ikut. Kutarik bola mataku menyapu langit-langit rumah.

"Emmm... bahwa orang sukses harus selalu punya Tuhan. Karena Tuhanlah yang memiliki hak prerogatif atas diri kita. Jika Tuhan mau, dengan sekali jentikan jari, maka kita akan bisa menjadi orang terkaya se-Galaksi Bima Sakti. Begitupun sebaliknya. Makanya membujuk-rayulah pada Tuhan dengan ibadah-ibadah andalanmu. Untuk apalah kita menjadi kaya jika tidak punya Tuhan. Kau tahu kisah Qarun kan? Tuhan menguburkan hartanya dengan sekali perintah. Dan harta tertimbun itu selalu menjadi permainan favorit kita sewaktu kecil. Kita selalu bergegas memecahkan simbol-simbol dan mencari harta karun. Ya, hartanya si Qarun." 

Aku berhenti sejenak. 
Pikiranku tengah berziarah ke tahun yang sudah-sudah. Imajinasiku kini tengah didatangi seorang gadis kecil dengan poni sealis dan lesung pipit di pipi sebelah kanannya. Manis.
Alisnya dikerutkan oleh simbol-simbol pada kertas yang tidak ia mengerti maknanya. Sesekali ia manyun. Duduk. Berdiri. Mondar-mandir bak ingus yang ditarik-ulur. Lucu sekali.

"Jika kita sudah berpunya, dan seketika Tuhan ingin mengambilnya, maka dengan memiliki Tuhan kita akan merelakannya. Karena sejatinya, ia takkan pernah kemana-mana. Tuhan hanya sedang mereparasinya dan akan mengembalikannya dengan keadaan yang lebih baik. Tentu jika kita mau bersabar. Prioritaskanlah Tuhan, maka Tuhan akan memandang kita."

Kulirik kembali ke arahnya. Berharap kali ini wajahnya merespon kalimat-kalimatku.
Kudapati ia tersenyum dan mengangguk-angguk. Tangannya masih saja nakal membuka lembar demi lembar agenda harianku. Tapi kubiarkan.


 "Hey, inikan Nicholas Hoult si Warm Bodies. Apa dia juga rajin dhuha?"

Oo oww.

"Kau bercanda? Jika ia melakukan itu, maka ia tengah mengkhianati 'ulama-ulamanya'. Tentu saja tidak."

"Lalu? kenapa dia juga mengisi agenda harianmu?"

"Kata orang kita akan menjadi mirip dengan apa yang sering kita lihat. Ya kali aja dengan melihatnya setiap hari, bola mata saya yang pribumi banget ini bisa menjadi biru, sebiru bola matanya. Hahaha."


Galang, apakah kau tidak sadar kalau bola matamu itu lebih meneduhkan dibanding air laut dan langit yang biru sekalipun?


*inspired from a book: Man Shabara Zafira, Ahmad Rifa'i Rif'an


2 komentar:

Kelana mengatakan...

salute hehe

Unknown mengatakan...

salut sama apa, Yat? sama si Nicholas kah? :D

Posting Komentar