Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Sabtu, 01 November 2014

Niat

"Itu urusan dia dengan Tuhan."

Menurutmu, apa sebenarnya yang menjadi urusan kita dengan Tuhan, Galang?

Telah dikabarkan bahwa agama datang untuk menyempurnakan tingkah laku (akhlak) manusia. Maka disematkanlah 'celaka' bagi mereka yang beribadah (shalat). Siapa mereka? manusia-manusia yang lalai dari shalatnya. Mereka yang tiap pergantian waktu memperbaiki shalatnya tapi tidak terbaiki akhlaknya.Merugi, Galang.

Bukankah peran shalat, yang merupakan pilar ke-dua setelah kesaksian akan ke-Esaan Tuhan, adalah mencegah pelakunya dari noda keji dan hitamnya kemungkaran?

Akhlak kita, tingkah laku kita adalah konsekuensi dari perjumpaan jiwa dengan Penciptanya.Sesuatu yang bisa kita lihat untuk memberikan nilai bagi diri sendiri. Media refleksi, alat muhasabah. Bukan untuk berlagak 'malaikat' atau mendapat gelar 'alim'.

Lalu sebenarnya apa yang menjadi urusan kita dengan Tuhan, Galang?

Ketika kau berjumpa dengan seorang wanita yang terlihat rajin beribadah, ringan bersedekah, santun bahasanya, dan mengenakan pakaian takwa, bagaimana menurutmu?
binggo! akhlak yang sempurna!!

Kau berbelok, merubah arah, bertemu dengan seorang wanita perokok, mabuk-mabukan, berpakaian seadanya (perlukah kutambahkan 'bertato'?), apa pendapatmu?
celaka!

Tapi tahukah kau, Galang? wanita perokok ini sangat rajin shalat. Sedangkan wanita berjilbab yang kau temui pertama kali, juga shalat. Meski kita tidak pernah tahu apa niat dibalik seseorang melaksanakan ibadah. Lalu diantara keduanya, manakah yang lalai?
Kau masih bingung?
Baik, kupersingkat.
Berjilbab dan shalat versus tidak berjilbab dan shalat. Mana yang lalai?

Okay, jika kau sudah punya jawaban, simpanlah jawabanmu sendiri, Galang. Kita tidak sedang ingin menghakimi dan menyalahkan seseorang. Biarlah jawaban kita menjadi konsumsi pribadi. Dan bukalah pintu selebar-lebarnya bagi pendapat orang lain.

Jadi, apa sebenarnya yang menjadi urusan kita dengan Tuhan, Galang?
Niat, tentu saja! sesuatu yang terus kau jaga kemurniannya di awal, tengah, dan di akhir.
Sesuatu yang bisa Tuhan lihat tapi kita tidak.

Akhlak menjadi yang pertama (terlihat, dan mampu kau beri nilai). Dan niat adalah yang utama (tidak terlihat, tapi andilnya besar untuk akhlakmu).

Sekali lagi, kita tidak sedang men'celaka'kan seseorang, Galang.
Kita hanya mengingatkan diri pribadi, bahwa celaka adalah sumpah yang diberikan bagi mereka yang lalai.


Rabu, 29 Oktober 2014

bukan untuk dinilai

Jadi... mungkin saya tidak sedang ingin dinilai, Galang yang ganteng tapi bukan serigala!
Oleh karena itu, saya banyak diam dan membiarkan orang-orang memberi nilai untuk kediaman saya.
Berapapun nilainya, aku yakin mereka akan selalu ragu! dan pada akhirnya, mereka akan percaya bahwa merekalah kaum lugu.

mulai racau...

Aku sedang berjalan memutari rak-rak buku yang tersusun cantik di sayap sebelah kanan sebuah toko buku (kalimat rancu!!). Tanganku menyentuh satu, sampul. Hendak ku gamit dan ku kenalkan pada orang rumah, tapi urung.
Belum waktunya untuk dinilai!
Aku pulang.
Setelah mampir ke wc dan meminum seciduk kopi. Ya tentu, aku bukannya minum kopi di wc!
Kopi sudah cukup mengaduk lambungku, wc bukan tambahan yang bagus.
Hei, apa kepanjangan dari wc?

lalu,

Apakah aku sedang berusaha untuk dinilai?
Mungkin, iya.
Besar kemungkinannya, tidak.

eh, kebalik.
Mungkin, tidak.
Besar kemungkinannya, iya.

Menjadi diam mungkin hanya sekedar alibi, Galang.
Tapi sudahlah. Sudah dulu. Bye.

Selasa, 03 Juni 2014

Past is Future

Kau pernah mendengar sebuah kisah roman, Galang? Kisah bahwa pada awalnya sebelum lahir ke dunia ini, bahkan sebelum memasuki alam rahim, kita pernah hidup di sebuah alam antah-berantah bersama dengan pasangan kita masing-masing. Ya pasangan, laki-laki dan perempuan. 

Di situ dikisahkan bahwa kisah cinta yang kita jalani di alam tersebut kurang lebih sama dengan apa yang terjadi di alam kita sekarang ini. Bertukar hadiah, cemburu, cek-cok, rayuan gombal, bertengkar, kemudian baikan, bertengkar lagi dan baikan lagi ya seperti itulah. 
Cuman bedanya di alam sana tidak ada perceraian. Semuanya akan menjadi pasangan sampai mati. Jadi gombalan semisal “Aku berjanji akan menemanimu hingga akhir hayat” itu terdengar seperti lagu Indonesia Raya saja di sana. Hanya akan dikumandangakan ketika kita kembali membutuhkan semangat untuk menjalani hubungan yang mulai menjemukan. Dinyanyikan pada waktu-waktu tertentu utnuk kembali mengingat perjuangan di awal karena bagaimanapun ini harus terus dijalani. Tidak berhenti. Sampai Akhir. Sampai maut datang.
Kau mengertikan apa yang kumaksud? Aih, aku memang tidak pandai memberi perumpamaan.
Pokoknya begitulah.

Aku yakin kau belum pernah membacanya. Aku menemukan kisah ini di pojok lemari sebuah perpustakaan yang tidak banyak diketahui keberadaanya oleh orang-orang. Ah, Aku selalu menyukai hal yang tidak banyak terjamah oleh orang lain.

Okai, aku lanjutkan.

Err…. Bagaimana cara mengisahkannya ya?
aku payah soal bernarasi, Galang!

Jadi ya seperti itu. Kau akan hidup dengan pasanganmu sampai kau mati. Satu orang satu, maksudku tidak ada poligami ataupun poliandri disana. Poli mata? Mungkin saja ada.
Jika kau bosan dengan pasanganmu, yang harus kau lakukan bukanlah meninggalkannya tapi mencari cara agar bosanmu pergi.
Jika kau marah, maka kaupun tak boleh memilih untuk mengganti pasanganmu.
Seketika kau menyebutkan sebuah nama pada ijab kabulmu, maka nama itulah yang akan terus menamanimu menjalani hidup. Tapi hal itu tidak membuat orang-orang di alam sana lantas takut untuk memiliki pasangan sedini mungkin, tidak. Justru prinsipnya adalah siapa cepat dia dapat ;) . Waw!

Lalu, ketika kau mati apa yang terjadi dengan pasanganmu? Bolehkah ia mencari pasangan (baru) lagi? TIDAK! TIDAK BOLEH! Itu melanggar hukum alam sana.
Pasanganmu akan menunggu. Menunggu apa? Menunggu kematiannya.
Hei hei, bukan bunuh diri maksudku tapi benar-benar menunggu hingga takdir yang membolehkannya mati.
Selama masa penantian itu, mungkin ia akan merana, ‘galau’ kata anak muda sekarang, susah move on, dan berbagai kesulitan hati lainnya.
Dan selama masa penantian itu juga, dia tidak boleh tinggal di rumah. Dia diwajibkan untuk berjalan-jalan dan memperhatikan alam disekitarnya termasuk manusia-manusia lainnya. Dan itulah kali pertama ia boleh meninggalkan rumah dan kota tempat ia tinggal. Iya, jadi selama kau masih punya pasangan, kau dilarang keras untuk bepergian jauh dari kotamu. Aturan yang aneh ya?

Lalu hingga maut menjemputmu, kau akan dibawa ke alam rahim seseorang yang sudah sejak lama mengharapkan kehadiranmu atau mungkin sama sekali tidak pernah mengharapkan kau muncul: Ibu. Jika kau berhasil lahir dan muncul ke alam dunia, maka saat itu juga jodohmu sebenarnya sudah diukir. Aku tidak bercanda, di buku itu memang dikatakan D I U K I R.

Coba lihatlah di telapak tanganmu, Galang! Disana ada ukiran inisial.
Kau tidak melihatnya? Tidak berhasil melihatnya belum tentu ia tidak ada, toh?

Dan inisial yang terukir di sana, di telapak tanganmu itu adalah inisial seseorang yang pernah kau sebutkan namanya (atau dia yang menyebutkan namamu) pada ijab Kabul di alam antah-berantah itu. Singkatnya, jodoh kita yang dulu adalah jodoh kita yang sekarang.
Kita akan kembali bertemu walau tidak saling mengingat lagi. Karena di alam rahim, memori kita telah dihapus untuk kembali dijadikan misteri. Ya, kita hanya perlu terus bergerak untuk kembali bertemu.

Well I’ll keep on walking
Till I find that old love or that old love comes to find me

Begitulah kisah yang tertulis di buku itu. Kau boleh percaya boleh juga tidak, Galang. Namanya juga cerita. Dan tentu akan lebih baik jika kau membaca buku itu sendiri daripada harus mendengarkan narasiku yang kacau balau ini.

Kisah itu ditutup oleh lagu the passenger, Keep on Walking. Lagunya begini, dengarkan ...
Well last night I couldn’t sleep
I got up and started walking
Down to the end of my street
And on into town
Well I had no one to meet
And I had no taste for talking
Seems I’m talking my whole life
It’s time I listen now

Well I walk passed the late night boys
With their bottles in the doorways
And I walk passed the business men
Sleeping like babies in their cars
And I thought to myself oh son
You may be lost in more ways than one
But I’ve a feeling that it’s more fun
Than knowing exactly where you are

Like a stone
Carried on the river
Like a boat
Sailing on the sea
Well I’ll keep on walking
Oh I’ll keep on walking
Till I find that old love or that old love comes to find me

Well I walked into the morning and felt the warm sunlight forming on my shoulders
Cos it hit me with no warning like a summer sky storming in my lungs
Ain't it funny how the kids walk by they’ll do anything to make themselves look older
While the women spend their money on anything that makes them look young

Like a stone
Carried on the river
Like a boat
Sailing on the sea
Oh I’ll keep on walking
Well I’ll keep on walking
Till I find that old love or that old love comes to find me

Well I’m a stone
And I’m carried on the river
Like a boat
Sailing on the sea
Oh well I’ll keep on walking
Well I said I’ll keep on walking
Till I find that old love or that old love comes to find me
Till I find that old love or that old love comes to find me



Senin, 02 Juni 2014

saya-sedang-sibuk #2

Masih bertanya tentang kesibukan saya?
Masih sama. Masih tentang kamu.
Mungkin, sedikit berbeda kali ini. Siap mendengarnya??

Aku memikirkanmu dengan caramu.
Malu-malu.
Tidak melulu terumbar dan akhirnya... hambar. 
Nonsense!

Aku memikirkanmu dengan caramu.
Melalui pesan resah yang ditiupkan angin sebelum hujan merintik.
Lalu diam: Seperti caramu!

Adakah gerimis mulai turun di sana?
Belum? Tak apa. Tenanglah...
Aku (masih) memikirkanmu dengan caramu.
Melalui bisingnya asap knalpot di senin pagi yang cerah.
Lalu diam: Seperti caramu!

Tidak buruk! maksudku, kebiasaanmu itu.
Kemarin, aku hanya belum tahu rasanya dan terlalu terburu menyumpahinya.
Ah! sering terulang! maksudku, kebiasaanku itu.

Dalam diam, kesibukan kita akan semakin ribut. 
Benar begitukan, Galang?


Sabtu, 08 Maret 2014

Pamrih

Jreng.... jreng... jrenggg... 

"Berisik tau!" Aku menutup telinga dengan kedua tanganku. Galang masih saja memainkan gitarnya sembarangan. Aku tahu seharusnya dia lebih dari mampu untuk memainkan satu lagu yang lebih baik dari itu.

I was a foolish little child 
Crazy things I used to do 
Mama now I'm here with you

Demi mendengar suaranya, kedua tanganku perlahan bergerak kebawah, membiarkan suara Galang mengisi rongga telingaku. Nah apa kubilang, suaranya memang te o pe be ge te !!

"Hey, aku lupa bertanya kabarmu hari ini. Apa kabar?"  Galang memotong lagu Maher Zein yang di-cover-nya, menyetop petikan gitarnya dan tetiba berbalik kearahku. Pertanyaannya tentang kabar bukanlah hal yang basa-basi, aku tahu itu. Aku tahu

Bahuku terangkat dan kemudian terhempas kebawah mengikuti gravitasi bumi yang semakin tua ini. "Entahlah. Biasanya kau lebih tahu daripada aku."

"Kalau kau mau tahu kabarmu, cobalah rasai apa yang kau pikirkan sekarang."

"Maksudmu?"

"Ya.. kita itu adalah apa yang kita pikirkan. Jika kau pikir ini sulit, maka kau akan berkata: kabarku buruk. Tapi jika kau punya cukup keberanian untuk berpikir bahwa ini adalah hal yang mudah, maka kau akan memilih untuk bilang bahwa kabarmu biasa saja. Pikiran kemudian perasaan, see?"

Aku menatap Galang. Tentu saja, tidak benar-benar melihat ke matanya tapi sesuatu diantara kedua matanya, pada pertemun kedua alisnya. "Apa aku cukup berani??" tanyaku kemudian.

"Harus! karena kau membutuhkannya."

Tatapanku beralih dari Galang menuju langit malam dimana warga bintang sedang berkeliaran. Banyak sekali dan... mereka terlihat sama. Seperti dikomando, mataku mencari bintang yang berbeda. Yang kerlipnya lebih cetar dari bintang yang lain. Atau itu yang disana, arah barat. Bintang yang sedang menyendiri, tak ada kawan. Tak ada yang mau berkawankah? atau dia yang memilih menjauh dari kerumunan? apapun itu, yang berbeda memang selalu menjadi perhatian.

"Aku... aku hanya khawatir, Galang. Khawatir kalau-kalau apa yang kulakukan sekarang hanyalah bentuk dari rasa terima kasihku, sekedar balas budi. Bukan karena benar-benar aku mencintainya. Masih tentang diriku, tentang aku dan aku, bukan tentang dia. Jika dia tidak ada, aku takut tidak ada lagi yang bisa menjadi tamengku. Lagi-lagi aku dan aku. Aku tengah mencintai diriku melalui dia. Ini tidak sehat, Galang!"

"All friendly feelings for others are an extension of man’s feelings for himself, Aristoteles." Kata Galang sembari sesekali memetik kecil senar gitarnya. "Itu lumrah, dan itu sehat. Seperti  ketika kau berdoa untuk orang lain. Doa itu akan memantul untuk dirimu sendiri. Sekarang, yang seharusnya kau lakukan adalah ikhlas. Balaslah kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik. Kebaikan yang baik adalah yang dilakukan dengan ikhlas.”

Aku menatapnya. Kurasa kali ini aku benar-benar menatap matanya.
Sementara dia, pandangannya beralih ke gitar dipangkuannya.

Saat kau proleh rasa dalam makna cinta
Dan hiraukan semua angkaraa...
Hanya satu buah kitab yang kami jawabkan
Terlalu banyak cinta kan binasa


"Tidurlah. Beranilah berpikir bahwa ini mudah."

Aku beranjak dari tempatku duduk menuju tendaku. Malam ini kami memutuskan untuk berkemah diantara halaman rumah kami.
Dari dalam tenda, aku masih bisa mendengar dengan jelas suara Galang.
Yang indah kau rasa
Yang manis kau beri
Walau itu hanya sementaraaa..
Lihat dirimu... semakin jauh mengayuh
Lewati segala tujuan hidup yang mungkin kau tempuh


Tentukan yang utama yang satu kau cinta
Kan jadi teman hidup yg setiaa..


Yang indah kau rasa
Yang manis kau beri
Walau itu hanya sementaraaa..
Lihat dirimu... semakin jauh mengayuh
Lewati segala tujuan hidup yang mungkin kau tempuh *)



*) Sheila on 7, Mari Bercinta


Rabu, 05 Maret 2014

Meri

Hai, Meri.

Oh ya ampun! aku tidak tahu bagaimana harus menuliskan ini, Meri. Maafkan aku.

Aku tahu... aku tahu... aku telat. Sekali lagi, maaf. Seharusnya aku menyapamu semenjak empat hari yang lalu. Bahkan sebelum itu, seharusnya sudah ada agenda kecil di kepalaku akan apa yang ingin kita lakukan saat kita bertemu.
Aku payah, Meri.
Apa dayaku. Tiba-tiba sesuatu menyerang kaki, tangan, bahkan hingga ke pikiranku. Ya, aku bahkan tidak bisa menghadirkanmu di pikiranku.

Apa yang terjadi sebenarnya? akupun tak tahu, Meri.

Look Meri! Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus segera pergi. Sesuatu kembali menyerang urat-urat sarafku. 
Tapi sebelum pergi, aku ingin menitipkan suatu kode padamu. Sebuah rahasia kecil yang kutemukan hari ini:

"Cinta bukan kontrak antara dua orang yang mencintai diri sendiri melalui orang lain"

Itu sandi dari Daeng Aan. Kelak kita akan membahasnya.

Maafkan aku, Meri. Tapi aku benar-benar harus segera pergi. Anggap saja ini sebuah mukaddimah pertemuan kita. Aku sungguh berharap agar bisa menemuimu lagi, secepatnya. Ah ya tentu setelah urat-urat sarafku membaik.

Terakhir, jagalah dirimu. Jika penjagaanmu baik, maka akupun akan baik saja.

-Aku.

Selasa, 18 Februari 2014

Mengapa (?!!)

"Mengapa kau mencintainya?" Tanya seorang temanku ketika senja sudah semakin tua. Kami tidak sengaja bertemu dan akhirnya terlibat percakapan kecil.

Aku menatap matanya, sebentar saja. Lalu aku mengambil gelasku, menyeruput kopiku yang tersisa.
"Karena aku memilih untuk mencintainya." Aku tersenyum kecil sembari beranjak dari kursiku. Melangkahkan kakiku keluar dari kafe yang akhir-akhir ini menjelma menjadi kawan berbagiku menghabiskan senja.
Aku menghentikan langkah dan berbalik ke belakang, ke arah temanku. "Sampai kapan kau mau tinggal di situ? ayo pulang! Senja sudah habis."

Selasa, 11 Februari 2014

Dengan (tidak) sederhana

Saya akan membuatnya menjadi sedikit mudah. Tidak sederhana, tapi kuharap kau paham dengan apa yang akan kutulis.

Begini...
Saya punya masalah dengan kata sederhana. Apalagi jika berbicara tentang perasaan. Ets jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan! Ini bukan tentang perasaan yang kau pikirkan!!

Samapai detik ini saya merasa nyaman dengan perasaan saya sekarang. Belum ada secuil laku yang membuat saya memiliki hunian lain yang lebih nyaman dari perasaan saya sekarang kecuali sedikit. Tapi saya tidak akan melebih-lebihkannya, tidak akan meninggi-ninggikannya, kecuali jika Tuhan punya mau.

Maka,
Saya tidak ingin membuat kesengajaan-kesengajaan yang sederhana. Saya justru punya kebiasaan buruk: membolak-balikkan keadaan yang terjadi untuk melihatnya kembali ke angka 1 atau mungkin memang takkan kembali. Itu kusebut takdir.
Jika kelak menyesal rasanya, biarlah. Karena setiap keputusan punya celah untuk sesal mengintip. Apa yang beda? cih, bagiku itu sama saja. 
Seperti yang kulakukan padanya. Sumpah demi apapun saya menyesal, tapi biarlah. Dan mungkin itu akan terjadi padamu (bergeserlah sedikit, Galang! bukan kau yang kutunjuk), lalu biarlah.

Suatu saat, mungkin saat dimana saya berhenti membolak-balik, berhenti mengobrak-abrik, mungkin itulah waktu saya. Tapi saya tahu itu takkan pernah terjadi dengan sederhana.
Kayu akan selalu menyempatkan diri untuk berkata sebelum api menjadikannya abu. Walau hanya dengan satu kata: setuju!


11/1/2014, lewat tengah malam.
MP3

Sabtu, 25 Januari 2014

love when lost *sigh*

"Sadarkah, perasaan yang Tuhan hadirkan itu aneh.
Kita selalu bertanya tentang siang pada pagi, bertanya tentang malam pada siang, dan pagi pada malam. Begitu seterusnya. Mengeluhkan dingin pada hujan yang sering kita minta pada kemarau. Merindukan sinar matahari karena pakaian yang belum kering ketika hujan sedang menemani. 
Inilah kita, sibuk memikirkan apa yang belum terjadi.Galau dengan apa yang tidak dimiliki.
Karena penasaran adalah biang keladi dari sebagian besar gerak kita, perasaan kita.

Seperti saat kau menunggu kakakmu yang hendak balik ke rumah saat lebaran tiba. Euforia-nya ada pada hari-hari ketika menunggunya datang hingga mengetuk pintu rumah. Atau saat dia tiba-tiba muncul di  pintu kamarmu tanpa ada kabar sebelumnya bahwa inilah jamnya dia akan tiba di rumah. Tetiba dia muncul dan meneriakimu: "anak kecil, aku sudah datang." Hanya sampai disitu. Lalu kau kembali sibuk dengan urusanmu dan tak acuh padanya. Hingga hari ketika ia harus kembali ke kota yang memberikannya penghidupan. Berpisah. Kau akan berkata: "Kenapa kau tidak mencari kehidupan di sini saja? kenapa harus jauh-jauh?" Lugu sekali.

Tapi mungkin, bukan perasaan kita yang aneh bin ajaib. Bukan Tuhan yang salah 'desain'.
Mungkin, kita. Kita yang tidak tahu caranya menggunakan perasaan ini. Kufur, lupa bersyukur. Mencari-cari yang tidak ada, dan mencueki yang ada di sebelah kita. Menunggu hari selasa tiba, dan lupa merayakan hari senin. Naif sekali kita ini."

Hujan yang makin deras memotong ingatanku tentang kalimat-kalimat Galang. Dia masih sibuk mencintai alam dengan membantu para korban banjir. Aku menikmati hujan secara live kali ini. Romantis. Kumainkan jari-jariku di udara, membiarkannya basah oleh air hujan. Dari headset yang bertengger di telingaku, terdengar lagu Passenger, samar, saling berlomba dengan suara hujan. Otot pipiku tertarik kesamping, senyumku tersungging. Kau benar, Galang. Ah, mengapa kau selalu benar?

You only need the light when it's burning low,
Only miss the sun when it starts to snow,
Only know you love her when you let her go.
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home.
Only know you love her when you let her go,
And you let her go.
Staring at the bottom of your glass
Hoping one day you'll make a dream last
But dreams come slow and they go so fast
You see her when you close your eyes
Maybe one day you'll understand why
Everything you touch slowly dies
But you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
'Cause Love comes slow and it goes so fast
Well you see her when you fall asleep
But never to touch and never to keep
Cause you loved her too much and you dived too deep
Well you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
And you let her go ooooh ooooh
And you let her go
 
(Passenger, Let Her Go)

sms tengah malam

Apa yang kau lakukan sore tadi?
(SEND)

Melaju di bawah air hujan. Menitipkan satu cerita tentang perasaan pada jalan raya, perasaan yang pernah terpinjam. Harus ku apakan, Galang?
(SEND)

Maafkan.
(SEND)

Kapan urusanmu selesai? Pulanglah segera. Kau harus menjelaskan sesuatu pada beberapa orang. Mereka (sepertinya) mengira kau fiktif :(.
(SEND)

Kau peduli dengan pendapat mereka?
(SEND)

:)
(SEND)

Senin, 20 Januari 2014

Pembunuh

Haruskah aku menjadi pembunuh kali ini, Galang? Senjata apa yang paling ampuh untuk membunuh?
Berikan padaku!!
Senapan? Parang? Badik? Panah? Busur? Bagaimana cara menggunakan benda-benda itu?Ajarkan padaku!! Aku hanya pernah memegang parang, terakhir kali karena kukira itu bisa digunakan untuk memotong sirip ikan yang kerasnya minta ampun.

Sekali ini, izinkan aku menjadi pembunuh, Galang.
Menjadi wanita paling jahat: Cruela si Devil, atau siapapun tokoh wanita yang jahat-jahat.

I've got the eye of tiger, the fire...

Atau aku akan menjadi ratu api? asal muasal iblis? 
Dancing through the fire cause I'm a champion

Lalu dengarlah nyanyian kemenanganku
like thunder gonna shake the ground
you're gonna hear me roar....


Ya, aku akan menjadi pembunuh, Galang.
Tidak dengan benda-benda itu. Tidak! aku tidak akan memilih menjadi seorang kriminal.
Tanganku akan bersih, hanya butuh sedikit menepuk-nepuk debu yang menempel. Sudah itu, beres. Takkan ada yang tahu. Tidak juga dengan perempuan itu. Perempuan yang telah mengajakku untuk berpikir bahwa aku adalah seorang penjahat. Oooh salah, bukan penjahat tapi seorang pemenang. Yes, I AM THE CHAMPION !!

Kumohon Galang...
Izinkan aku membunuh: menyetop denyut jantung dari memori-memori tuaku.
Izinkan aku menjadi pembunuh: pelupa dengan cara diam-diam.

Sabtu, 18 Januari 2014

Surat untuk N

Aku harus memulainya darimana, N?

Kau tahu... ini sudah surat kedua yang kutuliskan untukmu. Surat pertamaku dihilangkan adikku. Boocaaahh!!
Hhh.. samar ingatanku tetang surat yang pertama kutulis. Haruskah aku marah padanya? atau ada kata dari surat itu yang tak layak kau baca? maka Tuhan mengirimkan adikku untuk menggagalkan suratku?

Permisi sebentar... aku ingin mencium adikku dulu.


Okay, mari kita mulai.

Siang yang mendung, kau bertanya tentang makna survive kepadaku -jika ini tidak terdengar berlebihan-.
Aku? Survive? hahahahaha ups maaf. Tapi ini sungguh menggelitik, Kawan. Kurasa aku bukan orang yang tepat untuk mendefinisikannya, N.  Karena hal pertama yang kuingat tentang 'bertahan' adalah kaitannya dengan kesulitan hidup. Jika memang itu yang kamu maksudkan, malu rasanya. Tak pantas diriku.

Rasanya terlalu lancang jika kumasukkan kata survive di kamus pribadiku. Tak layak. 22 tahun yang diberikan Tuhan, kuisi dengan berbagai canda saja sepertinya. Tak banyak fase yang mengharuskanku menggunakan kata survive. Malu aku pada mereka yang lebih sulit hidupnya dariku, yang cobaannya lebih besar jika dibandingkan aku. Kau tentu sering membaca artikel-artikel tentang Palestina? Ethiopia? bahkan berita dari negara kita sendiri. Melihat mereka, tertampar rasanya pipiku jika aku keluhkan hidupku pada Tuhan. Apalah aku, atom terhalus di bumi yang masih sering lupa bersyukur. Tak seberapa ujianku, tak hentinya bibirku merutuk.
Tambah malu ketika membaca pengakuan mereka: "Ini bukanlah musibah, sungguh ini bukanlah musibah. Inilah kemenangan yang nyata!" Bulir-bulir bening ikhlas di mata mereka berbicara, N. Sungguh, jika mungkin aku ada di hadapan mereka, akan kusaksikan gambaran Firdaus 5 cm dari kepalanya. Itu kemenangan mereka.

Masihkah kau bersikeras menanyakan tentang definisi kata survive (atau dalam bahasa Indonesia kita mengartikannya 'bertahan') padaku, N? well, karena kau adalah saudaraku, maka akan kuluangkan waktu untukmu. Karena aku ingin mendapatkan salah satu dari derajat ukhuwah: mendahulukan kepentingan saudara diatas kepentingan pribadi.

Kemarilah... aku baru saja mendownload KBBI dari play store di handphone-ku. Ya, baru saja. Setelah sekian lama kamus bahasa negara lain terpajang manis di ponselku. Aku lupa negara kita adalah negara yang kaya, termasuk bahasanya. Setelah kuutak-atik, ternyata banyak kata yang tidak kutahu artinya. 
Eh, maaf aku jadi curhat. Ini karena kau memintaku menulis surat panjang (apa sejenis surat panjang tentang ribuan tahun cahaya? ahaha itu judul novel. Abaikan saja. Aku hanya berusaha memperpanjang tulisanku :D).

Kata apa tadi? ohya, bertahan.

ber-ta-han (v) 1. tetap pada tempatnya (kedudukannya dsb); tidak beranjak (mundur dsb): kita akan ~ di benteng ini sampai titik darah penghabisan; 2. Mempertahankan diri (thd serangan, godaan, dsb): mereka ~ thd serangan itu; 3. Tidak mau menyerah; berteguh hati; berkeras hati: ia tetap ~ pd pendiriannya; 4, Cukup untuk beberapa waktu (tt persedian dsb): kalau kita berhemat, air ini akan ~ juga satu satu minggu.

kau memilih definisi yang mana, N? Maksudku, aku tidak tahu definisi mana yang lebih tepat dengan keadaanmu sekarang?Aku minta maaf, jika belakangan kita jarang bertemu (Apa yang akan kita salahkan untuk ini? Ketidakmampuan kita untuk bertahankah? atau nasib yang akan kita marahi?), makanya aku tak begitu tahu keadaanmu sekarang. Maaf, jika gagal menjadi saudaramu. Tapi rabithah, masih aku ada di dalamnya?

Obrolan kita berlanjut walau terbatas pada layar komputer. Sedikit banyak aku menangkap maksud dari gundahmu, mudah-mudahan kali ini aku tidak sotoy (well... itu salah sata kata sifat yang disematkan Galang untukku). Sotoy kah aku? mari kita uji.

Dipertengahan kisahmu, kau menyelipkan kalimat BE YOUR SELF (hey, masukkah itu kalimat atau sebatas frase. Ya ampun... ini gara-gara aku sering melamun di mata kuliah morphologi. Maaf untuk ilmu yang selalu melupa). Itu kalimat yang pernah disarankan Galang padaku. Maka kuminta kau untuk melihat kalimat-kalimat Galang (yang entah darimana kalimat itu ia curi). Tapi katamu, kau sudah membaca tentang itu. Ah kau ini, secret admirer-nya Galang ya? Tak apa, aku tak marah (atau lebih tepatnya tidak cemburu ;)).
Maka kusarankan kau ingat-ingatlah lagi kalimat-kalimat Galang.

Yang paling membekas dari kalimat Galang (bagiku) adalah ketika kita mampu untuk mempersiapkan jawaban dari segala apa yang kita lakukan. Berbuatlah sesuka hati tapi persiapkanlah jawaban mengapa kau melakukan itu. Agar di kehidupan kelak kita tidak repot lagi karena semuanya punya penjelasan. Tentu, penjelasan yang benar bukan sekedar pembenaran. Dan juga, menjadilah sesukamu. Tapi jangan lupa untuk menemukan alasan yang tepat mengapa kau ingin menjadi seperti itu.

Suratku mulai kacau. Aku lupa dengan kata 'bertahan'. Apa hubungannya dengan 'be your self'?
Adakah kau ingin bertahan untuk tetap menjadi dirimu sendiri? Kalau begitu aku ambil definisi yang pertama pada KBBI: tetap pada tempatnya (kedudukannya dsb); tidak beranjak (mundur dsb). Sok tau ya? aduh maaf. Tapi bukankah begitulah orang menilai kita: menerka, menebak, dan sinonim lainnya. 
Maka, janganlah kau risau dengan ke-sotoy-an orang. Mereka sekedar penonton kisah hidupmu, sayang. Sesekali mungkin menjadi cameo. Kau tak perlu berubah mengikuti standar yang mereka tentukan, tak habis jika itu patokanmu. Beda kepala, beda maunya.
Saranku, peganglah lehermu. Rasakanlah denyut di sana, pertanda adanya Tuhan. Mudah saja bagi-Nya menghentikan denyut itu. Atau... peganglah ginjalmu (tidak benar-benar ginjal tentunya), apa kabar ia? maaf aku belum sempat menjengukmu (aku saudara yang payah!!). Maka pendapat siapakah yang paling pantas untuk kita dahulukan? bukankah ia yang telah memberi kita hidup? dia yang memberi kita kemudahan dan kesulitan?

Aku jadi teringat tentang kontradiktifnya sifat Abu Bakar dan Umar Al Khattab. Ah, kau tentu lebih mahfum dengan kisah tentang mereka. Aku sekedar menengembalikan ingatanmu saja (atau  kau tak pernah melupakannya dan selalu menjadikannya referensi untuk langkahmu? sekali lagi aku hanya bisa menerka, maaf jika salah.) Atau mungkin kau ingat tokoh the avenger? mereka punya sifat yang berbeda-beda tapi mereka punya satu jalur yang membuat mereka sama. Atau tengoklah pelangi, warna yang berbeda-beda tetap indah dipandang.

Maka apa yang kau risaukan dari dirimu, N? 
Kau hanya perlu memilih jalurmu (janur juga boleh :D). Lalu, menjelmalah sesukamu. Tak perlu kau ikuti orang-orang kebanyakan. Beda itu terpasung kuat di pikiran, tak mudah dilupa.

Bertahan: tetap pada tempatnya (kedudukannya dsb); tidak beranjak (mundur dsb).
Be your self, kukira tidaklah berarti kita harus menjadi itu-itu saja. Bertahan, kukira tidak sekedar memberi satu warna dalam diri kita. Berilah banyak warna pada dirimu. Tapi ada satu yang harus kau pertahankan, semacam garis peringatan. Agar kau tidak terlampau jauh bereksplorasi. Garis macam apa itu? kukira kau yang lebih tahu.


ahahah... ups maaf. Lagi-lagi aku lepas kendali. Aku menertawakan diriku lagi.

Kau tahu, manusia adalah jagonya berpesan, lihainya menasehati. Seperti peribahasa jaman SD: Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di ujuuuuuuuuuung lautan menjelma raksasa (makna peribahasanya tidak melencengkan walau dengan diksiku?)
Semua yang kukatakan padamu, belum semua bisa kulakukan. Marahkah Tuhan karena aku tidak (atau belum) mengerjakan apa yang kunasehatkan? Tapi disini ada saudaraku yang meminta, Tuhan? Haruskah kututupi apa yang benar hanya karena aku tak (belum) mampu melakukannya? Tak bisakah aku berkilah bahwa ini adalah doa? Perkataan yang dikatakan kepada orang lain sesungguhnya mencerminkan diri kita sendiri. 
Salahkah konsepku, N? maukah kau membantuku menemukan jawabnya? jika ya, maka aku akan sangat berterima kasih.

Aku hanya ingin kau paham bahwa tak ada  yang sempurna. Sempurna adalah kata sifat untuk Tuhan. Atom terhalus di bumi ingin menduduki ke-Maha-an Tuhan? oh my no!

Maka, N jika kelak aku butuh nasehat, nasehatilah aku. Jangan meragu, apalagi jika kau merasa belum pantas menasehatkan itu. Ah tentu itu adalah konsepku. Jika kau punya konsep yang berbeda, maka aku akan sangat menghormatinya. Aku tidak ingin menjadi penanggung jawab urusanmu dengan Tuhan di akhirat. Diriku saja pusing kupikirkan.

Maka sejatinya, nasehat adalah pilihan. Ambil atau modifikasi. Tentu, kau juga punya pilihan untuk tak acuh.

Cukup panjangkah suratku? kau membuatku menjadi manusia basa-basi. Entahlah, sepertinya banyak hal yang tidak penting yang aku tuliskan. Mudah-mudahan saja kali ini aku sotoy. Aamiin.

Adakah suratku memuaskan, N?
atau kau malah tambah bingung?
Setelah kubaca ulang, tulisanku nampaknya acak-acakan. Lompat sana-sini. Ide pokoknya tak tergapai sepertinya. Aku bukan penulis yang baik, N. Aku hanya suka menulis tanpa ada iming-iming menjadi seorang penulis. 

kutulis ini dengan keadaan ingus yang meleleh, N (eh maaf) dan air mata yang mengalir padahal aku sedang tidak (lagi) patah hati. Ya, aku terserang flu air (?). Jadi jika banyak kau jumpai typo pada kalimat-kalimatku, sesungguhnya itu bukanlah salah ketik tapi itu adalah kata baru *ngeles :D.

Bagaimana, N? Sudah cukup panjangkah tulisanku? 

Lalu bagamana caranya mengakhiri surat, N? Kata-kata apa yang akan digunakan sebagai penutup? alamak... aku kesulitan mengakhiri surat ini.

Baiklah...mmm.. sudah ya, N. bye. 

oh.. yayaya... aku ingat sebuah kalimat penutup surat: Tiada kesan tanpa balasanmu
Benar begitu tidak?


********

"Galang..... Galang.... main yuk." Aku berdiri di depan rumah Galang dengan menggeggam seamplop surat di tanganku.

Galang keluar dengan menggunakan sarung kotak-kotak dan peci putih. "Eh... Pak Aji. Galangnya ada, Pak? hahaha. Habis sunatan, Lang?" aku mengambil posisi duduk di kursi teras. Galang memilih kursi di depanku

"Habis dzuhur-an. Eh ada apa nih? kangen ya? baru juga ketemu tadi pagi."
"Ieeuu pede banget. Iya sih, kangen. Kangen ngerepotin. Tolong dong..." kusodorkan surat untuk sahabatku N pada Galang.
"Ya ampuuuunn... sesulit itukah menyatakan cinta sampai harus berkirim surat segala?? Gak kenal email ya?"
"Yang klasik begini kadang lebih berasa chemistry-nya. Bisakan membantu tanpa harus banyak bertanya?"
"Nggiiih.. gak usah pake urat. Tuliskan saja alamatnya. Aku ganti baju dulu. Nanti disangkanya aku mau ngantar undangan pernikahan kalau pake kostum begini, lengkap dengan peci pula. Tunggu ya."

Galang masuk ke dalam rumah sementara aku menuliskan alamat N pada amplop surat.
Tidak sampai 5 menit, Galang kembali muncul. Laki-laki, memang tak perlu banyak waktu untuk bersalin rupa. Kali ini dengan kaos oblong putih dipadu dengan jaket bertuliskan "Lakers" di dada sebelah kanannya. Sarungnya diganti dengan celana jeans berwarna biru basah. Dan, kaca mata hitam yang kini bertengger manis di wajahnya.

"Aku pergi ya. Eh ada pesan nggak?" Tanyanya padaku sambil mengeluarkan sepedanya dari garasi.

"Mmm.. jika dia bertanya kamu siapa, maka kau tahu harus menjawab apa." Jawabku sambil mengerlingkan sebelah mataku padanya. 

"Don't worry. Bye."

Galang dan sepedanya berlalu. 
Dia memang selalu bisa diandalkan.

Kamis, 16 Januari 2014

Pecinta Alam

Huuuuuuuuaaaaatttchiiiiiii...

"Wuuuiiihh... kira-kira dong kalau bersin. Baru juga datang, udah disembur. Gak kangen apa?" Suara itu...

"Galang?" ya itu benar dia. Setelah beberapa hari tak ada kabar, akhirnya dia muncul. Darimana saja? sama siapa? ngapain? ingin rasanya kuborong langsung pertanyaan-pertanyaan itu, tapi tidak. Tidak. Harus jaim, sok tidak peduli. Dingin. "Sorry... lagi flu. Lagian datang-datang gak permisi dulu. Kayak jalangkung aja, oh bukan... galangkung. hahaha." Suaraku yang terhijab oleh masker terdengar sedikit aneh ketika tertawa.

"Yeee... bukannya nanya 'darimana saja, Galang? ngapain? sama siapa?' ini malah di bully." Beneran gak kangen apa ini perempuan? 

Nah, itu dia tahu pertanyaan-pertanyaanku. Jawab aja gitu langsung, Gak perlu ditanya segala.

"Roman-romannya masak tom yam nih. Harrrrruuummnya sampai ke rumah tau. Eh... karena harumnya sudah menyebrang sampai ke rumahku, maka sekedar kuahnya pun sudah menjadi hak aku nih. Assiiiiikk.... mangkok mana mangkok?" Tanya Galang yang tentu saja tidak butuh jawaban. Dia tahu persis letak mangkok di rumah ini.

"Pintar banget nuntut hak, kewajibannya nihil." Ucapku sambil membuka masker yang menempel dimulutku. "Mana ada tamu masuk rumah orang gak ketok pintu? gak salam? tiga kali salam dan tidak dijawab kan harusnya cabut. Wek. Ini malah main masuk dapur orang. Lagian darimana aja sih?" Fiuuhh, keluar juga pertanyaan itu. Dengan susah payah kukendalikan nada suaraku agar terdengar biasa saja. Tidak panik, dan tidak benar-benar ingin tahu. Padahal...

"Sayakan bukan tamu di rumah ini. Wek." Kilah Galang sambil menjulurkan lidahnya. Meniru gayaku.

Bukan... bukan itu yang harus kau jelaskan, Galang. Tapi pertanyaan yang terakhir. Kamu darimana saja? Aiihh... masa iya harus kuulangi, susah tau.

"Ada kerjaan sama teman-teman mapala." O syukurlah, tak perlu kuulangi. Apa? Mapala?

"Hujan lagi horor-horor begini malah mendaki gunung? lewati lembah? sungai mengalir indah ke samudera.  Bersama teman bertualang. Sejak kapan kamu bercita-cita menjadi Ninja Hatori?" Sengaja kuselipi pertanyaanku dengan candaan, agar panikku tidak ditangkapnya. Yang kucandai malah sibuk mangap-mangap kepanasan kuah tom yam.

"Anak mapala itu kerjaannya bukan cuman naik turun gunung kaleee. Dasar sotoy." Terangnya sambil sesekali meneguk air putih dari gelas. "Karena hujan, ada beberapa daerah yang kena banjir. Ada yang sampai harus ngungsi. Jadi... ya kita bantu-bantu pemerintah sekitar. Relawan gitu. Namanya juga pencinta alam.  Harusnya mencintai dari hal yang terkecil, misalnya tidak membuang sampah sembarangan. Itu bagian  terkecil dari mencintai alam yang seringkali diabaikan bahkan oleh teman-teman pecinta alam sendiri. Tidak merokok, dan juga rajin mandi. Alam itu bukan hanya eksotisme pemandangan dari atas gunung. Sekedar mendaki gunung hanya akan membuatmu menjadi egois karena kau hanya akan menikmati kuasa Tuhan sendiri. Foto-foto tidak cukup meng-copy-paste apa yang kau rasakan ketika berada di atas sana. Lalu kemudian kau share di berbagai sosial media, cih. Bukannya membuat orang lain bisa merasakan euforianya menaklukkan gunung, malah hanya akan membuat mereka iri. Itukan yang kau rasakan?" Galang melirik ke arahku yang baru saja hendak memasukkan tom yam ke dalam mulutku. Tak jadilah kumakan. 

Benar, sumpah demi apa, saya sangat ingin mendaki gunung dan seringkali merasa iri dengan mereka (baca: perempuan) yang dipebolehkan (atau mungkin dengan sedikit memaksa) walinya. Aku tidak pernah mengantongi izin dari bapak walaupun nama Galang sudah kubawa-bawa. Sebenarnya orang tuaku , khususnya bapak, tidak begitu mengaitkan antara gender dan hobi. Buktinya beliau mengizinkanku ikut karate sewaktu SMP. Dan ketika kukatakan aku ingin les drum, Bapak senyum-senyum saja dan tidak melarang. Tapi entah mengapa, untuk urusan izin panjat-panjat gunung, tidak semudah meminta izin ikut lomba panjat pinang. Ah bapak...

"Kalau begitu seharusnya kau katakan pada teman-temanmu yang malas mandi itu. Sebenarnya mereka cakep-cakep cuman ditutupi sama rambut gondrongnya yang entah berapa hari belum di-shampoo, kulit mereka yang dekil, dan pakaian mereka yang entah mengapa selalu bau apek. Prinsipnya mungkin cuci-belum kering-bodo amat, pakai saja." 

"Beberapa teman mengambil dalih bahwa itu sudah menjadi tradisi. Bukan mapala kalau tidak begitu. Justru kalau itu dihilangkan, mereka disangka boy band bukannya pecinta alam. Sayang juga sih doktrin seperti itu. Padahal mencintai alam berarti mencintai keindahan dan keteraturan, ya gak perlu berlebihan juga. Dan itu seharusnya dimulai dari diri sendiri. Eh tapi beberapa temanku sudah mulai hijrah dari doktrin sesat itu kok. Tenang... tenang... saya akan menebarkan virus kegantengan dan keharuman ditengah-tengah kawan mapala. Hahaha." ungkapnya penuh bangga. 

"Kamu sendiri? ngapain selama aku sibuk menebar kegantengan? pasti mikirin aku ya?"

nah itu tau.

"Idih Ge-er. Gak sih, gak ngapa-ngapain. Cuman menjalankan rutinitas harian yang mulai terasa membosankan. Ditambah, keseringan makan karena dingin. Ya itung-itung musim hujan kelar, berat badan bisa bertambah."

"Bukannya cewek takut gemuk yah? oh iya aku lupa! kamukan bukan cewek. hahaha."  kamu memang bukan cewek, tapi perempuan aneh yang setiap inci gerakannya mampu meneduhkanku.

"Tidak semua cewek takut gemuk. Takut itu sama Tuhan, bukan sama gemuk." jawabku sinis karena gurauannya yang tidak lucu itu. "Eh hampir lupa. Kemarin Dika nyari kamu. Katanya hape kamu gak aktif, smsnya gak terkirim, di sosial media pun kamu tidak muncul. Hayooo kamu punya affair ya sama Dika? panik gitu dia."

Tanpa peduli dengan pertanyaan terakhirku, Galang merogoh saku celananya. Mencari-cari keberadaan ponsel kesayangannya.

"Dari kemarin handphone-ku sengaja dimatikan." terangnya sambil menekan tombol power cukup lama. Layar handphone itu menyala dan mengeluarkan bunyi khas 'selamat datang' sebentaran. Segera setelah standby, rentetan bunyi sms terdengar saling memburu. Pantas saja sms ku tidak dibalas. "Eh ada sms-mu juga ya?" tanyanya. ya ampuun.. harus berkilah apa kali ini? ayo berpikir, berpikir!! "Kamu dimana?" ucap Galang membaca pesanku yang muncul di layar handphone-nya. "Aku disini, disampingmu." Jawabnya seakan membalas sms yang kukirim. Dia melirik ke arahku. God! "Kamu mencariku? katanya tidak peduliiiiii?" selidiknya padaku.

"Mmmm... ya nggak lah. Itu karena Dika mencarimu. Jadi aku coba membantunya dengan meng-sms kamu. Mana tau hape kamu gak aktif. Lagian, pakai acara matiin hape segala. sok penting!" I'll say thanks to you, Dikaaaaa. Save by Dika mah ini ceritanya. Padahal sms itu kukirim sebelum Dika menanyakan keberadaan Galang. Hehehe

"Aku lagi program 'Hari Tanpa Gadget'. Makanya hape kumatikan."

"Program apaan itu?" tanyaku sambil dahi berkerut.

"Nantilah kujelaskan. Kuhabiskan dulu tom yam-ku. Eh bungkusin dong satu buat bawa pulang."

^%%$##%^%^$^@***

"Lo kira ini warteg?!"



Jumat, 10 Januari 2014

Percayakan Padaku

Saat mata terhalang oleh malam
Tidur dan berkembanglah
Saat mentari kembali menari
Datanglah dengan hati
Bila kau ragu pada impianmu
Percayakan padakau
Jalan hidup yang akan engkau tempuh
Percayakan padaku
Tumbuhlah jadi pendampingku
Seiring malam yang menjemput senja
Kekasih percaya padaku
Kau nyata tercipta tuk disampingku

Kau takkan pernah tahu apa yang kau miliki
Hingga nanti kau kehilangan
Maka jangan pernah tinggalkan aku kekasih
Oh kekasih.. lagu untukmu.. oh kekasih..

Segera setelah lagu ini selesai kunyanyikan, lampu kamarmu pun mati. Tidurkah? kurasa belum. Ini baru lagu Sheila 0n 7 yang ke-2.Aku masih terpaku diteras rumah dengan lantunan doaku yang tidak pernah berhenti putus untukmu.


Tidurlah tidur...

Aku takkan mendoakan agar kau bermimpi yang indah. Apalah mimpi, hanya janji palsu, PHP.

Tapi akan kudoakan agar hari-hari yang kau jalani selalu indah. Agar senyummu nyata dan tidak terbatas di ruang kamarmu saja. Dan... jika kau tak tahu pada apa kau akan tersenyum, maka percayakanlah padaku.

-Galang

Kamis, 09 Januari 2014

Laki-laki yang Menangis

"Aku tidak suka laki-laki cengeng. Seksinya hilang seketika."

Dan mulai sejak itu, Aku, Galang, berjanji untuk pantang cengeng. Bukan karena takut menjadi tidak seksi, tapi karena itu seleramu.

Ingatkan aku untuk tidak cengeng, pun ketika kita harus terpisah jarak.
Ingatkan aku untuk tidak cengeng, pun ketika kita tak bisa lagi menikmati autumn bersama.
Ingatkan aku untuk tidak cengeng, saat takdir memaksamu menghilang dari pandanganku.

"Kita takkan pernah bisa menang melawan takdir, Galang. Kecuali... berhentilah menjadi lawannya. Dan mulailah mengulurkan tawaran persahabatan dengannya. Maka kau akan mengetahui kelemahannya. Siapakah yang mau menunjukkan kelemahan kepada lawan? tapi sahabat? tanpa kau minta, ia akan menceritakan semua minusnya kepadamu. Jika kelemahannya sudah ditanganmu, maka kau akan tahu bagaimana cara menumbangkannya. And the winner goes to you. Buatlah ini menjadi mudah dengan semacam mind-play, tidak dengan ala barbar." katamu yang masih selalu terngiang ditelingaku.

Tapi aku ingat, kau tak pernah membenci laki-laki yang menangis. Dimatamu laki-laki tetap seksi (apa kau tak punya kosakata lain selain kata 'seksi'? itu terdengar menggelikkan) walaupun sedang menangis. Karena airmata terlalu luas untuk sekedar dimaknai cengeng, begitukan?

Tahu tidak (kau pasti akan menjawab "tidak tahu"), saat kutulis ini, perasaanku sedang kacau, tanganku gemetaran, pikirku risau. 
Aku takut.
Takut kalau-kalau kau menghilang...
Takut jika jarak pandangku tak bisa menangkap bahkan sekedar siluetmu.

Dan jika itu terjadi, sesuai janjiku: aku tidak akan menjadi laki-laki cengeng. Aku tidak akan menjadi 'the man who can't be moved'. Aku juga tidak akan menjadi penyair galau dadakan. Tidak akan bersenandung lirih tentang lagu-lagu perpisahan. Apa kau tahu kalau presiden pertama kita pernah melarang lagu-lagu cengeng diputarkan? entahlah, mungkin karena manusia-manusia cengeng tidak akan berguna pada masa itu (dan masa sekarang indeed). Secara ilmiah, lagu-lagu cengeng juga bisa mengurangi produksi hormon.. err.. aku lupa apa nama hormonnya (melatonin? saretonin? seretonin? atau melototin ya? aaa.. aku lupa.) yang jelas kekurangan hormon itu akan membuat kita menjadi gampang depresi. Aku tidak mau menjadi orang depresi. Setidaknya, jika takdir mempertemukan kita lagi, aku tak mau terlihat kacau dihadapanmu. Terlihat cengeng: laki-laki yang tidak kau sukai.

Dan karena aku tidak mau menjadi musuh bagi Si Takdir. Tidak akan. Kuhajarpun dia yang akan menang. Baku-hantampun tetap aku yang akan kalah. Tapi tenanglah, aku takkan pernah (dan takkan bisa) melupakanmu. I'll move dengan membawa semua diskusi-diskusi kecil kita. Tenanglah...

Tapi aku akan menangis, sesenggukan. Tidak akan keras. Dan tidak akan lama agar julukan cengeng takkan sempat kusandang.
Ya, aku akan menangis. Karena kau tidak membenci laki-laki yang menangis.

Rabu, 08 Januari 2014

Miss-a-day

"Kau dmn? Acarax sdh mw dimulai."
(SEND)

"Mf.. aq tdk bs dtg, Galang. Mamaq menyuruhq tdr lbh awal. Maagq kambuh. Apa kw tw hbgn skt maag dan tdr lbh awal? q rasa tdk ada. Tp akan q turuti mwx. Have fun!"
(SEND)

:(
(SEND)

Kesenangan apa yang sedang kau bicarakan jika kau tak ada disini?! Cepatlah sembuh. Ini perintah!

Selasa, 07 Januari 2014

Sekunci-kunci langit

Once upon a time....

*alaaaahh... ulang.

Ehm.
Waktu kecil, apa permainan yang paling kau sukai, Galang? Atau kegiatan apa yang paling membuatmu merasa bahwa dunia ini begitu, well, indah?

Aku? kalau aku... begitu menyukai pamer. P A M E R ahahaha. Eh ada tambahannnya. Aku juga adalah orang yang sangat keras kepala dan tak suka mengalah. Benci sekali rasanya jika salah seorang temanku bilang begini: "Aku punya boneka yang banyak loh di rumah. Mmm... ada 100an lebih loooooh."

Ieeeeuuuuuu. Talk to my hand, Beb!
YANG BENAR SAJA!! Bagaimana mungkin dia tahu kalau bonekanya ada 100an? sedang menghitung 1 sampai 10 saja dia tidak bisa. Dasar pembohong tingkat universe!

Tapi dasar aku yang tidak mau mengalah, walaupun aku tahu apa yang diucapkannya bohong, tetap juga kutanggapi.
Aku akan mulai pamer dengan menyebutkan jumlah nominal yang lebih banyak dari punyanya. Jadi jika dia berkata punya boneka 100an, maka aku akan menyebutkan angka 200 atau bahkan sampai 500.
"Aku dong punya boneka 500an lebih di rumah." Kataku (yang tentu saja hanyalah fiktif belaka).

Dan ternyata temanku ini setipe denganku, tidak mudah mengalah. ah, dasar bocah!
Begitu kusebutkan angka 500, maka dia akan mencari angka yang lebih dari itu. Begitu seterusnya. Hingga kami pun berpikir: angka berapa yang paling tinggi di dunia ini? guru matematikaku waktu itu tak pernah menjawab pertanyaan ini.
Tapi, ada satu 'angka' yang selalu menjadi nilai tertinggi bagi kami yaitu SEKUNCI-KUNCI LANGIT. (menurutmu apa yang menjadi kuncinya langit, Galang? well kau akan kutodong suatu hari nanti untuk beropini tentang ini). Entah darimana sejarahnya. Entah mulut siapa yang pertama kali mengatakannya. 'Angka' ini tiba-tiba saja muncul dan menjadi ucapan "skak-mat" bagi siapa saja diantara kami yang mengucapkannya pertama kali.

Sekunci-kunci langit.
Nominal yang tak terhingga jumlahnya, Galang.
Angka yang paling congkak.

mungkin sebanyak itulah doaku untuk mama.

Senin, 06 Januari 2014

Doa (untukmu)

Dia telah berdiri, coba berlari
Tak pernah dia jelang hidup yang inginkan
Kilau hari-hari dan birunya langit
Terhapus rasa indah, terpejam oleh lelah 
hoo..oo.. hooo

Dalam lelahnya mata nikmat dunia menjelma
Sejenak dia berharap malam tanpa batas
Bunda selalu tanamkan jangan pernah meyerah
Jalani dan panjatkan, kelak syukur kau ucapkan
Pada diri Nya ku moh...

"Awww...." Petikan gitarku berhenti. Begitupun dengan lagu yang kunyanyikan. Sebuah boneka lumba-lumba kecil mendarat di kepalaku. Sengaja dilempar dari rumah sebelah.

"Brisik tau. Sudah malam ikan bobo." Jendela dibantingnya. Lampu kamar ia padamkan. Ah aku tahu kau belum akan tidur, Perempuan aneh.

Bernyayilah terus, Galang. Sungguh, sebenarnya aku sangat senang dengan nyanyianmu. Sengaja aku melemparimu dan menyuruhmu untuk berhenti agar kau tahu bahwa sebenarnya aku belum tidur dan dengan setia mendengarkanmu sedari tadi. Mmmm... ini sudah lagu Sheila on 7 yang ke-5 kan? Kau tahu betul aku menyukai lagu-lagu mereka.

Aku minta maaf jika menganggu waktu istirahatmu. Tapi aku cukup senang saat tahu bahwa kau masih terjaga. Mudah-mudahan saja sedari tadi kau mendengarkan lirik-lirik ini. Sejujurnya itu lebih dari sekedar lirik-lirik kosong. Semua yang kunyanyikan adalah lirik-lirik doaku pada Tuhan.
Sebelum tidur, aku takkan pernah lupa untuk mendoakan orang-orang yang kusayang (dan sesekali orang-orang yang kubenci). Untuk kesehatan mereka, untuk senyum mereka, untuk semua yang baik-baik. Dalam doa aku akan mengesampingkan tentang diriku. Akan lebih senang rasanya jika mendoakanmu dan orang-orang lain daripada harus berdoa untuk diriku sendiri. Karena kebahagianmu, ibu, ayah, dan semua orang yang kusayangi adalah jawaban atas kebahagian yang kuminta untuk diriku. Beristirahatlah...

Pa.. pada diri-Nya kumohonkan
Mudahkan hidupnya, hiasi dengan belai-Mu
Sucikan tangan-tangan yang memegang erat harta
Terangi harinya dengan lembut mentari-Mu
Buka genggaman yang telah menjadi hak mereka

Minggu, 05 Januari 2014

Be Your Self

"Kau ingin aku seperti apa, Galang?" Pertanyaan itu spontan meluncur.
Alis Galang mengkerut tapi dia tidak menanyakan maksudku. Mulutnya masih sibuk mengunyah kripik singkong yang kami beli di ujung komplek rumah kami.

"Maksudku... apa yang mesti kuubah dari diriku? apa yang mesti kutambahkan dan apa yang harus kukurang-kurangi? apakah aku terlalu cerewet ataukah aku terlalu pasif? jahatkah atau sudah cukup baik?"  Kujelaskan tanpa ia minta. Tapi bahasa alisnya meminta penjelasan itu.

"hahahahaha. Kau lucu."  bukannya menjawab, dia malah menertawakanku. 

"haha dan kau sangat tidak lucu!!"
 Kutarik paksa kripik singkong yang sedang ia makan. Kukunyah dengan kasar. Jengkel rasanya.

"Idiiiiiihh... ngambek. Dasar perempuan!"

Kulirik ia sekilas, hanya sekilas. Buru-buru kutarik kembali lirikanku. Aku takut dengan mata itu.

"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu? apa itu penting untukmu?" tanya Galang.

Tentu saja penting! apalagi jika itu pendapatmu, Galang...

"Gak penting-penting juga sih. Cuman pengen tau aja. Ya.. anggap saja itu cara saya untuk merefleksi diri. Muhasabah.." Jawabku setengah bohong. Bohong karena kukatakan bahwa ini tidak penting-penting amat. Tapi aku cukup jujur ketika kukatakan bahwa ini caraku merefleksi diri (tentu saja dengan pendapat Galang sebagai cerminnya).

"Meminta pendapat orang lain tentang diri kita memang penting. Tapi tiap-tiap manusia yang kau mintai pendapat, punya standar perfect yang berbeda. Maka kau takkan pernah menemukan jawaban yang benar-benar memuaskan. Yang satu akan berkata ini baik, yang satu akan berkata kurang baik. Pro-kontra akan selalu menghiasi. Be your self! terdengar klise tapi ini jurus yang ampuh. Berusaha memuaskan setiap orang, hanya akan menyita energimu dan pada akhirnya kau takkan mendapatkan apa-apa keculi lelah dan ketidakjelasan karakter. Maka yang kau perlukan sejatinya hanyalah satu pendapat." Galang menggantung kultumnya sore itu. Diambilnya kripik singkong yang tadi kurampas.

"Pendapat siapa?" tanyaku penasaran.

"Tuhanmu." jawabnya sambil menunjuk ke arah langit.

 Ah apa benar Tuhan itu di langit? bukankah dia lebih dekat dari urat leher?

"Tapi terkadang aku tidak cukup pintar untuk mengerti apa kemauan-Nya? aku tidak betul-betul tahu apakah yang kulakukan sudah cukup benar bagi-Nya atau sebenarnya bukan itu yang Dia inginkan. Dia terlalu complicated sometimes."

"Kalau begitu tanyakan kepada dirimu. Lakukanlah segala hal yang ingin kau lakukan, tapi persiapkanlah sebuah jawaban ketika Dia bertanya mengapa kau melakukan itu. Sebuah alasan yang bukan sekedar pembenaran. Tapi sungguh sebuah kebenaran. Yang paling tahu tentang dirimu adalah kau sendiri. Yang menanggung pahala dan dosa ya kamu. Bukan mereka yang berkomentar tentang dirimu. Maka jangan pernah lupa membawa headset. Pakailah jika ada kicauan-kicauan yang tidak ingin kau dengar. See?"

Benar juga. Darimana dia dapatkan kalimat-kalimat ajaib itu?
Tapi bagaimanapun aku butuh tahu seleramu, Galang..

"Oh iya." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku merogoh kantongku, mencari-cari sebuah benda yang hendak kuberikan kepada Galang. "Nih... pakai ya." kusodorkan benda itu kepada Galang.

"Kaca mata hitam? untuk apa?"

ya untuk kamu pakailah. Biar aku bisa berlindung dari matamu.

"Itu punya kakakku. Kemarin ketinggalan di mobil dan dia sudah terbang ke Jakarta. Katanya itu untukku saja. Tapi itukan model laki-laki, jadi kuberikan saja kepadamu. Aku baikkan?" tanyaku sambil memainkan kedua alisku. Menggodanya.

"Kebetulan sekali kaca mata ribenku kemarin hilang entah dimana. Makasih ya. Sampaikan juga terima kasihku kepada kakakmu."

Galang mencoba kaca mata itu. Membiarkannya bertengger di atas hidungya yang tidak-mancung-mancung-amat. Perfecto. Dan yang lebih penting aku aman dari matanya. Tapi tidak berapa lama ia melepaskannya kembali.

"Pulang yuk. Sudah mau hujan sepertinya. Aku juga lapar tapi mamaku tidak ada di rumah. Numpang makan ya di rumahmu?" pintanya sambil tersenyum sok manis di depanku.

"Boleh saja. Tapi setelah itu kau harus membantuku cuci piring. Deal?"

"Siap Kapten!" jawabnya sambil hormat bak sedang upacara bendera.

Ooh aku lupa menanyakan sesuatu sesuatu!

"Mmm.. Galang, Bagaimana jika kau menggunakan kaca mata itu setiap kali kita bertemu?"


Sabtu, 04 Januari 2014

Yang Ber-Tuhan Yang Sukses

SANDIGO SALAHUDDIN UNO

"Ibadah itu kalau sudah rutin kita lakukan bukan lagi menjadi sebuah kewajiban tapi menjadi sebuah kebutuhan. Jadi kalau aku nggak shalat dhuha sekali aja, tiba-tiba ada sesuatu yang hilang, aneh rasanya. Walaupun itu sunnah jadi terasa wajib. Dan aku ngerasain sekali hikmahnya, sudah 7-8 tahun ini rutin aku lakukan, rezeki itu seperti nggak aku cari, semua rasanya datang sendiri kepada saya." 

PURDI E. CHANDRA

"Pagi-pagi sekitar jam enam, saya biasanya makan roti bakar. Jadi hampir tiap hari saya selalu sedia roti bakar. Kemudian olahraga sebentar. Agak siang, saya baru makan nasi. Habis itu mandi, shalat dhuha, dan kalau lagi pengen kantor, barulah setelah aktifitas itu, saya berangkat ke kantor."

"Siapa orang-orang ini, Galang? Mengapa mereka begitu penting sehingga kau menempelkan wajah-wajah mereka di agenda harianmu?"

Hey, siapa yang membolehkannya membuka agendaku? tapi biarlah.. semua isi agenda itu -bahkan yang belum tertulis- tidak akan lama bertahan sebagai rahasia padanya. 

Kutekan tombol pause pada stick yang kupegang. Kutarik perhatianku lepas dari game yang sedang kumainkan.


"Sandigo Salahuddin Uno dan Purdi E. Chandra." jawabku setelah melihat siapa orang yang dia maksud.. "Kaukan bisa membacanya di situ."

"Pertanyaanku adalah 'siapa mereka?' bukan nama mereka. Kau seharusnya cukup pintar untuk membedakan itu."

Bahkan kesalnya pun selalu bisa kunikmati. 

Kuperbaiki posisi dudukku. Kusandarkan punggungku pada sofa yang berada di belakang kami.

"Mereka pengusaha sukses. Sengaja kutempel gambarnya lengkap dengan ucapan-ucapan mereka sehingga aku bisa selalu membacanya. Menginspirasi..."

Aku mencuri pandang kepadanya. Sekedar untuk tahu bagaimana respon wajahnya. 
Tapi datar. Biasa saja. Aku tahu dia selalu mampu memanipulasi mimiknya sedemikian rupa. Tidak gampang kaget, tidak gampang kagum, tidak gampang sedih. Datarnya seperti sedang bertanya pada dirinya: kagum tidak ya? marah tidak ya? sedih tidak ya? 

"Apa yang kau dapat dari mereka?" 

 Tumben sekali dia memberiku pertanyaan tidak disertai tatapan tajam ke arahku. Tatapan yang selalu sukses membuatku kikuk dan akhirnya terbata.

Aku diam sebentar. Kali ini bukan hanya punggungku yang bersandar  di sofa tapi kepalaku juga ikut. Kutarik bola mataku menyapu langit-langit rumah.

"Emmm... bahwa orang sukses harus selalu punya Tuhan. Karena Tuhanlah yang memiliki hak prerogatif atas diri kita. Jika Tuhan mau, dengan sekali jentikan jari, maka kita akan bisa menjadi orang terkaya se-Galaksi Bima Sakti. Begitupun sebaliknya. Makanya membujuk-rayulah pada Tuhan dengan ibadah-ibadah andalanmu. Untuk apalah kita menjadi kaya jika tidak punya Tuhan. Kau tahu kisah Qarun kan? Tuhan menguburkan hartanya dengan sekali perintah. Dan harta tertimbun itu selalu menjadi permainan favorit kita sewaktu kecil. Kita selalu bergegas memecahkan simbol-simbol dan mencari harta karun. Ya, hartanya si Qarun." 

Aku berhenti sejenak. 
Pikiranku tengah berziarah ke tahun yang sudah-sudah. Imajinasiku kini tengah didatangi seorang gadis kecil dengan poni sealis dan lesung pipit di pipi sebelah kanannya. Manis.
Alisnya dikerutkan oleh simbol-simbol pada kertas yang tidak ia mengerti maknanya. Sesekali ia manyun. Duduk. Berdiri. Mondar-mandir bak ingus yang ditarik-ulur. Lucu sekali.

"Jika kita sudah berpunya, dan seketika Tuhan ingin mengambilnya, maka dengan memiliki Tuhan kita akan merelakannya. Karena sejatinya, ia takkan pernah kemana-mana. Tuhan hanya sedang mereparasinya dan akan mengembalikannya dengan keadaan yang lebih baik. Tentu jika kita mau bersabar. Prioritaskanlah Tuhan, maka Tuhan akan memandang kita."

Kulirik kembali ke arahnya. Berharap kali ini wajahnya merespon kalimat-kalimatku.
Kudapati ia tersenyum dan mengangguk-angguk. Tangannya masih saja nakal membuka lembar demi lembar agenda harianku. Tapi kubiarkan.


 "Hey, inikan Nicholas Hoult si Warm Bodies. Apa dia juga rajin dhuha?"

Oo oww.

"Kau bercanda? Jika ia melakukan itu, maka ia tengah mengkhianati 'ulama-ulamanya'. Tentu saja tidak."

"Lalu? kenapa dia juga mengisi agenda harianmu?"

"Kata orang kita akan menjadi mirip dengan apa yang sering kita lihat. Ya kali aja dengan melihatnya setiap hari, bola mata saya yang pribumi banget ini bisa menjadi biru, sebiru bola matanya. Hahaha."


Galang, apakah kau tidak sadar kalau bola matamu itu lebih meneduhkan dibanding air laut dan langit yang biru sekalipun?


*inspired from a book: Man Shabara Zafira, Ahmad Rifa'i Rif'an